Jeng Yah dan Perjalanan Bisnis Rokok di Indonesia
Novel Gadis Kretek. Foto by: Lailatul Q |
Jauh sebelum tahun kelahiranku seseorang bernama Idroes Moeria sedang merintis bisnis barunya. Awalnya ia seorang buruh saja, buruh pelinting klobot di rumah pengusaha klobot di kota M.
Klobot adalah kulit jagung yang dikeringkan sebagai bahan untama melinting tembakau yang telah dicampur cengkeh. Orang-orang mengisap klobot untuk kesenangan mereka, juga untuk kesehatan mereka.
Sama sepertimu, aku baru tahu, dulu sekali, klobot itu dijual di toko-toko obat. Terutama untuk mereka yang sesak nafas. Jauh sebelum itu, ada seorang yang terkena penyakit asma. Ia sering merasa sesak nafas. Ia mulai berpikir bagaimana memasukkan cengkeh ke dalam paru-parunya.
Mengisap rokok adalah jawabannya. Cengkeh adalah obat yang pas untuk sesak nafas, dicampurkan cengkeh bersama tembakau, dilintinglah menggunakan klobot, lalu orang-orang mengisapnya.
*
Buku ini akan segera difilmkan. Itu sebabnya aku buru-buru membeli bukunya, aku tidak mau ketinggalan satu kalimat pun untuk setiap kisahnya.
*
Sejak Jepang menguasai negara Indonesia, orang-orang di kota M yang diculik dan dibawa ke Surabaya mulai memperhatikan rokok yang beredar di sana. Rupanya, orang-orang di luar mulai meninggalkan klobot. Mereka mengisap kretek. Tembakau yang dicampur cengkeh dan saus yang diracik sendiri untuk memberikan rasa sesuai keinginan pembuatnya.
Idroes Moeria sebagai tahanan dari kota M merasa senang mendapat ilmu baru di tempat tahanannya. Ia berencana akan membuat kretek setelah dibebaskan. Ia punya banyak rencana untuk mengembangkan bisnisnya nanti. Kalau memang bisa bebas.
*
Ratih Kumala, si penulis buku, telah melakukan riset yang panjang dan melelahkan untuk mengungkap perjalanan bisnis rokok di Indonesia.
Ia menulis dan bercerita dengan baik. Hasilnya, novel Gadis Kreteknya mendapat penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa dan sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa.
*
Di buku ini saya bingung siapa yang benar-benar menjadi tokoh utama. Jeng Yah, pebisnis perempuan yang merekok dan meracik saus rokoknya sendiri, melintingnya dengan ludahnya yang manis. Atau Idroes Moeria yang belajar baca tulis mati-matian demi kekasihnya, sekaligus demi memberi label pada rokoknya dengan tulisan tangannya sendiri.
Atau Soedjagad, pemilik pabrik rokok terbesar di Indonesia yang di ujung usianya justru menyebut-nyebut nama Jeng Yah, sehingga membuat istrinya, Purwanti, cemburu buta seolah-olah ia gadis belia yang baru mengenal cinta.
*
Novel ini membuka pengetahuan sejarah bagaimana bisnis rokok pada zaman sebelum hingga awal kemerdekaan. Banyak hal yang baru saya tahu, kepala saya menjadi penuh dengan pertanyaan-pertanyaan sebab saat ini petani sedang panen tembakau.
Saya berpikir, rokok menjadi salah satu lahan bisnis yang sangat menggairahkan bagi mereka yang punya bakat kapitalis - sampai hari ini. Meski hari ini bungkus rokok penuh dengan kalimat menakut-nakuti, tetapi produksi dan embrio bisnis rokok tetap berkembang. Pebisnis raksasa rokok semakin kokoh dan tak terkalahkan. Iklan-iklan dipasang dan diputar di mana-mana.
Meski tak ada kalimat "Ayo beli rokok" atau "Ini rokokku, mana rokokmu?" Pada setiap iklan rokok di TV, orang-orang tetap paham itu iklan yang mempromosikan sebatang rokok. Semakin besar perusahaannya, semakin high iklannya.
Iya 'kan?
Posting Komentar untuk "Jeng Yah dan Perjalanan Bisnis Rokok di Indonesia"