Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Segara Alam

 

Dokumen Pribadi

Namaku Alam. Satu judul novel trilogi yang dipilih Leila S. Chudlori - salah satu penulis favoritku.


Pertama kali saya mengenal bukunya sewaktu masih jadi mahasiswa di pesantren. Waktu itu buku yang saya baca berjudul Laut. Tak perlu menunggu lama untuk menjadikan Leila sekaligus karya-karyanya termasuk dalam penulis dan buku favorit.

Setelah membaca Laut, dan jatuh hati pada gaya kepenulisan dan bercerita Leila - yang menurutku lebih cocok disebut laporan jurnalistik, aku merasa menemukan satu lagi genre buku yang menarik dan tidak membosankan.

Karya Leila nyaris sekelas dengan Hiroshimanya John Hersey. Semuanya. Bedanya hanya tokoh dalam bukunya adalah ciptaan. Aku baru mengenal istilah jurnalisme sastrawi setelah diperkenalkan pada buku Hersey oleh seorang kawan saya yang baik dan rajin.

Sebelum Namaku Alam lahir, Leila lebih dulu menulis novel Pulang. Ia berjanji akan melanjutkan potongan sejarah yang sangat panjang itu. Sekarang ia kembali berjanji akan menulis Namaku Alam 2.

Alam adalah anak seorang tapol pada masa Orde Baru. Bapaknya disebut-sebut sebagai penghianat negara sehingga semua keturunan dan keluarganya harus dirapikan. Pemerintah saat itu menyebut gerakannya sebagai Bersih Diri dan Bersih Lingkungan.

Beberapa orang memang ditangkap, dipenjarakan, dihilangkan - untuk tidak mengatakan dibunuh, ditahan di beberapa pulau terpencil. Selebihnya semua yang terlibat dengan mereka, termasuk keluarganya diinterogasi. Diteror. Bahkan berbagai kriminalitas seksual bagi perempuan.

Peristiwa G30S/PKI bukan sekadar kisah pencilikan jendral. Menurut Leila dalam ceritanya, pencatatan sejarah di Indonesia terlalu buruk. Ceritanya tidak lengkap. Sejarah hanya dibuat sesuai arahan pemerintah. Sebab itu perlu ada pencatatan lain di luar buku-buku yang dipelajari di kelas.

Warga Indonesia berhak tahu secara detail apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa ini. Apa yang melatar belakangi peristiwa G30S/PKI. Segara Alam mencoba memberikan cerita yang lebih detail dan kompleks. Leila telah lama melakukan penelitian untuk itu.

Penangkapan yang membabi buta oleh pemerintah itu jelas menentukan nasib keluarga yang ditinggalkan. Anak-anak serta bininya. Tidak mudah bertahan hidup dengan teror menakutkan, mendapat label penghianat sehingga ruang geraknya sangat dibatasi, dan menjalani hidup tanpa identitas kependudukan yang jelas. Sekalipun ada kartu identitas, masih ditambah-tambahi label diskriminatif.

Memang betul kata Ibu Umayani dalam novel Segara Alam, harus ada yang mencatat semua kejadian pada masa itu untuk melengkapi potongan sejarah yang dibuat dan disusun oleh pemerintah. Agar dunia tak semakin gerah disuguhi siswa-siswa korban pembodohan sejarah.

Demi semua itu saya rela menunggu lahirnya buku Segara Alam 2 sesuai janji penulis. 

Posting Komentar untuk "Cerita Segara Alam"