Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BELAJAR DARI NYAI HANI’AH

 

Dokumen pribadi: perayaan hari jadi Komunitas Literasi Darul Falah


Komunitas Literasi PP. Darul Falah, Kadur, Pamekasan, mengundang pemateri perempuan pada perayaan hari jadi pertamanya. 30-an orang peserta adalah santri perempuan yang memiliki minat tinggi untuk belajar ilmu literasi, demikian pula panitia penyelenggaranya.

Saya senang karena menjadi bagian dari penyelenggara kegiatan literasi pertama di daerah ini. Saya semakin gembira karena Nyai Hani’ah berkenan menjadi pembicara utama diskusi kecil yang hangat itu.

Dari ruangan indah yang tertata rapi, kita dapat menyerap materi dengan tenang, melihat ratusan buku dengan berbagai judul sastra, politik, sejarah, hingga novel remaja dan buku-buku pelajaran, berjejer menempel pada rak dan dinding dengan warna senada.

Saya dan panitia penyelenggara harus berbersungguh-sungguh dalam menyelenggarakan acara ini. Kami ingin membangun lingkungan dengan minat baca yang tinggi, menghidupkan budaya literasi, dan menginspirasi peserta untuk menjadi perempuan terpelajar. Untuk mempersiapkan generasi baru yang lebih cerdas ketimbang generasi hari ini, begitu kira-kira harapan kami.

Hingga tahun 2019, Indonesia masih menjadi 10 negara terbawah dengan tingkat literasi rendah. Beberapa pegiat literasi Indonesia merasa putus asa sebab buruknya minat baca, apalagi menulis.

AS. Laksana bahkan membayangkan aktivitas gemar baca sebagai gerakan politik. Ia memikirkan berdirinya Partai Indonesia Membaca, sebuah partai untuk menekan pemerintah agar membereskan sistem pendidikan, mendorong penerjemahan karya-karya besar ke dalam bahasa Indonesia, dan mewujudkan masyarakat gemar membaca ke dalam kebijakan politik.  

Barangkali di kota, kesadaran berliterasinya lebih baik, sebab gerakan-gerakan literasi mulai dinyalakan meski cahayanya belum menjangkau bagian pojok pedesaan. Di awal, saya sampaikan kepada pemateri bahwa peserta kami mungkin berbeda dengan peserta lain yang pernah beliau jumpai.

Di desa, kesadaran untuk berpendidikan—terutama pendidikan bagi kaum perempuan, masih kalah jauh dibanding kesadaran untuk segera berpenghasilan. Bukan lagi karena tidak mampu, melainkan mereka tidak mau.

Sulit meyakinkan mereka bahwa pendidikan akan membuat kualitas manusia lebih bermutu, meski tidak kaya raya. Saya hawatir, role model mereka akan berubah seiring waktu.

Maka pada peluang kali ini saya ingin menunjukkan seorang patron perempuan dari pesantren bergelar doktor. Harapan saya sederhana saja, mereka mendapat wawasan koleksi baru tentang model perempuan keren.

Membuka diskusi hari itu, Nyai Hani’ah mencoba memikat perhatian peserta dengan perkenalan singkat dilanjutkan cerita. Pengenalan ilmu literasi menjadi bagian kecil dari seluruh pembahasan mengenai pentingnya pendidikan. Momen yang tepat karena setelahnya beliau memberikan sebuah buku berjudul Great Women yang beliau tulis bersama perempuan-perempuan hebat lainnya.

Euforia positif memancar dari wajah peserta—yang sepertinya terbawa suasana; berada dalam lingkaran dan pengaruh positif. Kemudian istirahat siang menyudahi diskusi kami yang panjang.

Saya mengantar dan memastikan beliau hingga duduk nyaman di kursi mobil. Sementara pikiran saya membayangkan semua peserta diskusi kelak dapat meneladani sikap dan keilmuan Bu Nyai inspiratif ini.

*

Dokumen pribadi: pemberian buku Great Women oleh Nyai Hani'ah


Nyai Hani’ah menandai karir intelektualnya di luar kampus dengan menjadi ketua Asosiasi Peneliti Bahasa Lokal (APBL) wilayah Madura. Beliau tampaknya menekuni bahasa, khususnya bahasa Madura sebagai pilihan karir intelektualnya; barangkali karena satu alasan lain selain karena beliau adalah salah satu putri tokoh agama di Madura.

Sebagai anak perempuan yang lahir di ujung timur pulau Madura, sangat memahami sosiologi Madura, sudah sukses menembus batasan diskriminatif  bahwa perempuan seharusnya tidak perlu sekolah terlalu tinggi dan terlalu jauh. Nyai Hani’ah memang seperti tak berpreseden: seorang putri kiai besar dari salah satu pesantren terkenal di Madura, yang umumnya melanjutkan pendidikan agama untuk melanjutkan kepemimpinan pesantren, tiba-tiba menyeruak dan berhasil merebut tempat di arena intelektual nasional yang umumnya didominasi para sarjana dari kampus-kampus sekuler.

Lima karya beliau adalah buku serius yang membahas tentang bahasa dan sastra Indonesia. Diterbitkan oleh beberapa penerbit seperti Almatera, LKiS, RFM Pramedia, dan penerbit Intelgensia Malang. Sementara 4 buku lainnya berupa cerita rakyat dan esai diterbitkan oleh penerbit yang berbeda.

Saya mengetahui dan membaca karya beliau karena di awal saya masuk pesantren beberapa kali saya mendengar dari para santri dan mahasiswa tentang kedisiplinan dan luasnya wawasan beliau, kemudian rencana Tuhan menakdirkan saya untuk berguru langsung kepada beliau, beberapa kali, dalam ilmu kepenulisan.

Rupanya sejak saat itu saya mulai penasaran dengan karya-karya Nyai Hani’ah yang lain. Peluang besar muncul satu tahun sebelum saya resmi pulang dari pesantren: beliau bersedia membimbing kami yang waktu itu baru merintis majalah santri, tentunya atas saran dari Pengasuh.

Santri perlu belajar menulis dan banyak membaca buku-buku, begitu pesan K.H. Abd. Basith AS, BA., pengasuh kami di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee 1—yang sebenarnya masih merupakan pamanda dari Nyai Hani’ah. Pengasuh memang sangat menekankan para santrinya untuk menekuni dunia membaca dan menulis selain kegiatan-kegiatan pesantren yang ada, bahkan sudah banyak karya yang dihasilkan oleh beliau sendiri.

Dokumen pribadi: Momen memperingati Hari literasi Internasional, Annuqayah Latee 1

Rupanya, K.H. Abd. Basith AS, BA,. lah yang menjadi salah satu alasan Nyai Hani’ah untuk melanjutkan studi bidang bahasa hingga meraih gelar doktor etnolinguistik 2020 di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Nyai Hani’ah menjadi doktor perempuan pertama dari keluarga besar Pondok Pesantren Annuqayah. Maka beliau dapat dikatakan sebagai generasi emas dari kalangan pesantren yang kemudian melanjutkan dakwah jalur bahasa, literasi, dan pendidikan. Beliau berhasil belajar di salah satu universitas bergengsi bidang bahasa di Indonesia.

*

Sukses Nyai Hani’ah menandai sebuah era baru stereotip terhadap perempuan. Kehadiran beliau cukup mewarnai citra karir dan pendidikan perempuan, khususnya perempuan Madura, lebih-lebih dari kalangan pesantren.

Dan dengan terpilihnya beliau menjadi Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Trunojoyo madura, yang disambut baik oleh kalangan muda dari pesantren, karir dan reputasi beliau terus menanjak di kalangan akademisi.

Di tengah kesibukan beliau, yang juga seorang reviewer jurnal Basastra Universitas Sebelas Maret, Nyai Hani’ah seakan tak kenal letih untuk mendedikasikan keilmuan beliau meski pada forum-forum kecil yang diadakan kami, sekalipun bahkan pesertanya beberapa masih duduk di bangku SD.

Memang concern sejatinya adalah memegang teguh budaya dan nilai-nilai Islam yang diajarkan di pesantren: bahwa perempuan sangat istimewa dengan kodratnya sebagai seorang ibu. Maka prestasi terbesar dalam hidup beliau adalah menjadi seorang ibu sekaligus meniti karir di luar bidang domestik.  

Posting Komentar untuk " BELAJAR DARI NYAI HANI’AH"