Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lovember | 10

JJarak itu sebenarnya tak pernah ada. 

Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan

(Joko Pinurbo)


Hari Raya. Foto: Lailatul Q.

Teman-teman, malam ini saya bertekad untuk menyelesaikan satu tulisan seri Lovember. Semoga kalian semua suka. Kalau kalian benar suka, silakan komen di bawah ya, lalu sampaikan apa yang kalian sukai. Jika kalian berkenan memberi komentar, saya akan menulis lagi yang lebih bagus. Jika kalian tidak berkomentar, saya juga akan menulis lagi yang lebih bagus. Sebab, kata Bang Sulak, begitulah sebuah karya—selalu melahirkan yang lebih bagus dari hari ini. Terimakasih sudah berkenan untuk membaca tulisan ini sungguh-sungguh.

Banyak dari kalian berharap tulisan ini akan lucu, beberapa juga berharap tulisan ini akan bernuansa romantis hingga pipi kalian kemerahan sambil membayangkan kisah kalian sendiri dengan doinya masing-masing.

Saya tidak tahu kenapa harus selalu menulis kisah, bagi saya cara paling romantis untuk mengenang perjalanan bersama doi adalah dengan tulisan. Saya ingin seperti Layla dan si Majenun, Qays, yang kisahnya abadi hingga saat ini. Bahkan mungkin hingga anak-cucuku nanti.

Sayangnya, sekalipun kami sama-sama bernama Layla, hidupku tak seberuntung dia yang tak perlu menuliskan kisahnya sendiri. Banyak penyair dengan sukarela sepenuh hati menulis ceritanya sekalipun sudah ada, dan diulang-ulang tak tahu berapa kali.

Oleh karena itu aku menulis untuk diriku sendiri, untuk kisahku sendiri, yang tidak mungkin dituliskan orang selainku.

Hidup demikian kerasnya ya.

Pada momen-momen tertentu adalah hidup yang kurasa itu menyenangkan, mengharukan, penuh perjuangan, ingin selalu kuingat, atau apa saja yang berkesan, aku selalu menuliskannya dengan niat yang sama; tulisannya harus semakin bagus.

Lebih-lebih pada apa saja kisah yang berkenaan dengan suamiku, Pak Haji Akbar. Dengannya semua kisah menjadi romantis; tidur, nyapu, makan, nyuci, ngemil, nonton, apalagi momen ultah.

Pada saat ulang tahunku ke 24, ketika kami baru saja menikah, saya menunggu-nunggu kejutan romantis apa yang akan diberikan Pak Haji padaku. Saya berpikir bahwa pasti scene cute-romantic-nya akan terasa sekali, bahkan saya bermaksud merekamnya pakai kamera handphone kalau-kalau kejutan sudah tiba.

Kira-kira apa yang kalian bayangkan tentang kado ulang tahun untuk pengantin baru? Kue? Tas? Baju? Ucapan? Puisi-puisi? Perhiasan? Boneka besar yang lucu? Atau video memori kisah kita berdua selama 11 tahun perkenalan? Kalian bebas berhayal. Gratis.

Tahun sebelumnya saat kami bertunangan, saya mendapatkan video dan foto-foto mengharukan yang membuat saya semakin jatuh cinta. Maka bayangan saya, ulang tahun kali ini pasti lebih mengharukan. Saya membayangkannya sambil memegenag perut, saking mulesnya. Kalian pernah merasa mules saat awal-awal bertemu seseorang yang spesial? Nah itu dia rasanya.

Saya harus bersiap untuk segala kejutan, pikir saya.  Saya tahu betul Pak Haji bukan tipe lelaki yang akan membawakan saya baju-baju branded, tas, gelang, sepatu, intan permata sari, atau sejenisnya. Dia tahu apa yang paling membuat terharu, saya tahu dia akan membuat saya terharu.

Tepat pada jam 00.00 WIB, katanya; “Selamat ulang tahun, sayang.” Lalu mencium kepala saya sambil menyodorkan handphone-nya. Saya kebingungan.

“Tiup lilinnya.. tiup lilinnya.. tiup lilinnya sekarang juga..” suaranya menirukan lagu ultah yang kuno itu. Setengah sadar, saya masih bingung. Mana lilinnya? Kok disuruh tiup. Abang tetap menyanyikan lagu tiup lilin sementara di depan saya hanya sebatang handphone. Bukan lilin.

“Ini lihat dulu, tiup keras-keras.” Katanya. Loh, ternyata ada gambar kue di hp-nya. Di atasnya kue ada tiga batang lilin yang apinya bergerak-gerak kayak hidup beneran. Masih bingung, saya meniupnya asal. Eh, ternyata lilinnya ga mati, dia cuma bergerak kayak api dibelai angin-angin manja. Dalam hati mbatin, ini lelucon apaan sih?

“Lebih keras,” kata Bang Haji.

Saya meniupnya sekali lagi, lebih kuat. Tapi apinya beneran ga mati. Cuma goyang-goyang dia. Saya meniup lebih kuat lagi. Apinya mati, di layar muncul asap, persis seperti lilin asli yang baru saja ditiup.

“Yeee… selamat ulang tahun, Ta.” Katanya mengusap kepala saya. Saya tersenyum manis campur bingung dan kesal. Setelah itu saya tertidur dan tak inga tapa-apa lagi.

Besok paginya Bang Haji memulai percakapan, “Semalam ingat ngapain?” Saya berusaha mengingat kejadian semalam; lilin, api, tiup, asap..

“Iya,” jawab saya seusai shalat subuh berdua. “Itu tadi malam apa ya? Youtube kah?”

“Itu aplikasi.”

“Kok ada lilinnya? Apinya? Asapnya?”

“Memang begitu.”

“Aplikasinya dapat dari mana?”

“Download dong di Play Store.” Jawabnya seperti pamer.

“Emang ada?”

“Ada lah.”

“Kok tahu ada?” Bagi saya itu tidak masuk akal.

“Ya mikir aja, masak iya di antara jutaan manusia di bumi ga ada yang kepikiran sama kayak saya. Kepepet ultahnya seseorang, terus buat aplikasinya. Tak cek, eh, ada beneran, yaudah gass.”

Saya bingung bagaimana harus merespon tanggapannya. Mau bilang ‘E’ gitu aja kejutannya’, kasian. Mau jawab ‘Wahhh, sayang, makasih.. saya terharu’, bohong ding.

Saya berpikir apa mentang-mentang dia anak teknik ya, segalanya serba teknologi. Atau menurut para cowok, itu tindakan paling super hero untuk kekasihnya. Entah.

Terakhir, kisah ini saya tulis tanpa mengurangi sedikitpun rasa cinta saya kepadanya. Saya tidak ingin mengenangnya sebagai lelucon belaka. Bagi saya ini adalah ungkapan paling manis dari seorang istri untuk kekasihnya. Sama manisnya seperti kue dan lilin yang saya tiup dalam layar Hp lalu berasap. So sweet.

Kalian boleh percaya, boleh tidak.

Demikian,

 

 

Yang selalu mencintaimu,

Lailatul Q.

 

 

4 komentar untuk "Lovember | 10"

  1. Balasan
    1. Tak ada yang benar-benar usai, yang ada hanya anggapan bahwa ia telah selesai

      Hapus
  2. Balasan
    1. Aaamiinn..
      Terimakasih doanya pak.. semoga keberkahan juga melimpahi keluarga sampean 😊🙏

      Hapus