Surat untuk Ibu Kartini
Sumber foto: Kompas.com |
Halo Ibu Kartini,
Perkenalkan saya Ella, perempuan
dari generasi Z.
Hari ini adalah hari yang
ditetapkan pemerintah untuk mengenang perjuanganmu, Bu. Karenanya, hari ini
saya menulis surat untuk Ibu yang namanya sering disebut-sebut sekalipun tak
semua tahu benar bentuk perjuanganmu.
Saya menulis surat karena
ingin bercakap-cakap, seperti seolah bertemu, sekalipun saya tahu betul surat
ini tidak akan pernah sampai kepadamu.
Membaca sejarah perjuanganmu
membuat saya—sampai hari ini terharu, dan sangat menghormatimu sebagai
perempuan. Saya menghormati cara berpikirmu dan sikapmu sebagai perempuan. Dan karena
itu pula saya sangat-sangat menghormati setiap perempuan yang berpikir dan
bersikap sama sepertimu, salah satunya adalah ibuku sendiri.
Saya tahu, tidak mungkin Ibu
mengenalmu lebih dari sekadar nama yang sering disebut-sebut. Ibu tidak tahu cerita
tentangmu. Beliau tidak pernah membaca surat-suratmu apalagi membaca buku yang membahas
perjuangan dan pergerakanmu. Tetapi beliau begitu menghormati ilmu pengetahuan
dan gagasan pendidikan perempuan, sama sepertimu.
Bedanya, Ibu saya tidak lahir
dari keluarga bangsawan Jawa. Tidak pula Madura. Beliau lahir dari keluarga petani
dengan 5 orang saudara. Nenek telah meninggal saat Ibu masih kecil, sementara Kakek
sudah tua sekali. Sepeninggal Kakek, selulus dari bangku Sekola Dasar, ibuku
dinikahkan.
Kejadian itu terjadi antara tahun 1995-1996, jauh sebelum perempuan berpendidikan
seperti hari ini. Apa yang bisa dilakukan perempuan miskin, yang masih belia,
yang hidup di lingkungan jauh dari kata maju untuk melawan perintah saudara-saudara
lelakinya? Apalagi melawan keadaan? Lebih-lebih melawan maskulinitas lelaki
yang disebut-sebut sebagai patriarki.
Tidak ada. Ibuku yang masih kecil tentu tidak akan melawan. Tidak mungkin
punya gagasan untuk sekadar menolak, apalagi melawan.
Akhirnya keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan dipendamnya
kuat-kuat. Ditanamnya kuat-kuat, hingga berbuah cita-cita luhur untuk putra-putrinya
kelak.
Ibu Kartini,
Saya tahu, seperti ibuku,
engkau juga dinikahkan. Sebagai perempuan terpelajar, dan pengusung gagasan
untuk membela hak-hak kaum perempuan, engkau dengan tegas menolak. Barangkali engkau
merasa terjebak dengan keadaan. Di tengah perjuanganmu untuk mengangkat derajat
kaummu engkau malah dihadapkan dengan apa yang selama ini kau suruh tolak.
Berbeda dengan ibuku yang
wawasannya tak seluas engkau, Bu. Tetapi memang apa yang engkau lawan adalah
tembok besar yang tua dan kokoh. Betapapun engkau berteriak lantang, seberapa
luas wawasanmu, betapapun dalam pengetahuanmu, tetap saja tidak mampu mengubah
ketetapan ayahandamu, Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat, seorang patih yang
diangkat menjadi bupati Jepara.
Hingga akhirnya engkau memilih
berserah pada takdir. Menyerahkan diri pada nasib, sebagai bentuk penghambaan
kepada Tuhanmu, dan sebagai bukti penghormatanmu kepada ayahandamu.
Asal engkau tahu, Bu. Justru pada
titik itu saya begitu menghormatimu. Menghormati keputusanmu yang agung, yang tidak
mungkin dilakukan oleh para pengusung feminisme di Eropa sana.
Sejarah telah membuat garisnya
sendiri untuk membedakan feminisme Nusantara dengan feminisme Eropa. Bahwa kesetaraan
yang kita usung bukan untuk merendahkan kaum lelaki, tetapi seperti katamu; kesetaraan
agar sama-sama mendapatkan akses pendidikan untuk membangun peradaban.
Ibu Kartini,
Engkau dan ibuku adalah dua
perempuan berbeda yang sama-sama saya hormati.
Ibuku sama sekali tidak
mengenalmu. Beliau lahir jauh setelahmu. Wawasan pengetahuan beliau jauh berada
di bawahmu. Setelah menikah ataupun sebelum menikah, beliu tidak memiliki teman
untuk bertukar gagasan. Beliau tidak memiliki teman luar negeri untuk saling
berbagi cerita tentang lingkungan di sekitarnya.
Tetapi mungkin saja, berkat
doa dan usahamu dulu, banyak terlahir Kartini-Kartini kecil untuk membantu
mewujudkan cita-citamu.
Saya yakin, Ibu, peradaban
yang engkau impi-impikan sejak puluhan tahun yang lalu pada akhirnya nanti akan
terwujud. Perlahan-lahan.
Dari pengalamannya, Ibu mendapat
satu pelajaran penting; untuk membangun peradaban, perempuan harus
berpendidikan.
Darimu dan juga dari ibuku,
saya belajar banyak hal sebagai perempuan. Dan wawasan ini akan saya wariskan
dengan baik kepada anak-anak saya untuk melanjutkan perjuanganmu.
Salam, Bu.
Dari perempuan yang sangat
menghormatimu,
Lailatul
Q.
Posting Komentar untuk "Surat untuk Ibu Kartini"