Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Matador: Turnamen Olahraga Spanyol

 

Sumber foto: The Guardian


Hampir sebulan ini saya tidak menulis seri Lovember. Alasannya sederhana. Objek yang ingin saya tulis sakit sampai berhari-hari. Jadi apa yang bisa ditulis dari orang sakit? Selepas ia sembuh, ganti saya sakit. Saking berjodohnya, sakit pun kami jalani bersama.

Hari ini saya baru bisa menulis kembali.

Tak banyak informasi yang didapat orang sakit selain bagaimana ia segera sembuh dan segera beraktivitas seperti biasa.

Sepanjang menikmati sakit, saya membaca beberapa lembar buku dan kitab-kitab selama di pesantren. Kadang saya menikmatinya juga dengan bermain TTS versi terbaru di Play Store.

Kalau merasa pusing, saya sudahi mikirnya, lalu saya tidur seharian. Sehari sebelum benar-benar sembuh, mucul beberapa pertanyaan di benak:

Apa yang kalian pikirkan ketika sakit? Atau, apa yang kalian bayangkan ketika bosan tiduran selama sakit berhari-hari? Kalau demam saya menurun sedikit saja, mulai banyak hal bergentayangan dalam kepala saya. Mungkinkah itu halu?

Semasa mengisi TTS, ada pertanyaan tentang negara dengan julukan Matador. Saya tahu itu negara Spanyol. Saya mengisinya dengan baik, tapi pikiran saya mulai tidak baik. Matador. Matador. Matador. Matador.

***

Turnamen Olahraga Matador

Seorang pria gagah dengan baju khas pangeran Spanyol berperan sebagai penantang dalam pertarungan melawan banteng yang gagah perkasa. Orang Spanyol menjulukinya torero.

Dalam pertarungan ini, torero adalah pelaku utama dalam pertunjukan. Ia bertugas mempermainkan si banteng, membuatnya marah, kemudian membunuhnya sebagai simbol kegagahan seorang pria. Pertunjukan ini ditonton manusia lain dan mereka bertepuk tangan.

Ini adalah budaya tarung yang berasal dari Spanyol dan negara-negara lain yang berbahasa Spanyol. Namanya pertarungan, harus ada pemenang dan harus ada yang kalah. Sekalipun banteng itu binatang yang kuat, tapi dibanding manusia ia kalah cerdik.

Banteng tidak akan dapat mengatur siasat kapan harus menyerang terus atau mengalihkan perhatian lawan sejenak untuk mencari peluang. Ini adalah pertarungan yang sangat berbahaya.

Pria yang berhasil mengalahkan dan membunuh banteng akan mendapat perlakuan seperti seorang bintang. Pendapatan berlimpah, memiliki banyak penggemar, dan wajahnya akan menghiasi majalah-majalah dan tabloid.

Banyak petarung-petarung top dari Spanyol, dulu. Tapi, dengan sifat pertarungan yang berbahaya itu, sudah lebih 40 orang yang meninggal, terbunuh di gelangang pertarungan. Bantengnya menang.

Lalu akankah si banteng diperlakukan sebagai bintang juga? Banyak penggemarnya? Diminta jadi bintang iklan? Banyak penghasilan? Hanya orang ‘baru sembuh dari sakit’ seperti saya yang bertanya begitu.

Kemudian dalam perkembangannya, matador menjadi turnamen olahraga. Tetapi mulai kontroversial. Beberapa nitizen merasa olahraga itu tidak berperikemanusiaan setelah mereka menyaksikan seorang matador menyeka air mata banteng sebelum dibunuh. Tindakan itu mendapat kecaman.

Kabarnya matador menjadi perdebatan kontroversi di panggung politik. Entah bagaimana kelanjutannya hari ini, berita itu viral pada 2019 lalu.

***

Matador dan Karapan Sapi

Kurang lebih, dalam beberapa hal, budaya karapan sapi di Madura mengalami hal yang sama. Semakin tua usia sebu``ah bangsa, masyarakatnya semakin kritis berpikir.

Seperti matador, karapan sapi juga mulai kontroversial sejak beberapa tahun lalu. Masyarakat mulai banyak yang kurang setuju, karena merasa kasihan dengan sapi yang harus berlari kencang, berlomba dengan sapi yang lain. Terkadang jokinya memukul hingga melukai si sapi.

Air mata juga sering menetes kala sapi merasa sakit tapi tidak bisa berteriak “Sakiiit woooy”. Bedanya, dalam hal ini tidak ada scene mengharukan seperti menghapus air mata sapi menggunakan tisu atau sapu tangan.

Sebenarnya, sejarah karapan sapi itu menarik. Mulanya dan niat awalnya adalah melatih sapi-sapi madura agar kuat membajak. Karena tanah di Madura gersang dan banyak masyarakat memelihara sapi, akhirnya seorang ulama dari Sumenep memperkenalkan cara bercocok tanam baru.

Namanya, Syekh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur). Gagasan dari beliau kemudian menimbulkan tradisi baru bernama karapan sapi yang—seperti matador—digelar setahun sekali.

Pada perkembangannya karapan sapi menjadi perlombaan. Sepasang sapi menarik kereta kayu yang ditunggangi joki karapan. Yang diperlombakan adalah kecepatan berlari dari masing-masing sapi.

Sebuah lapangan tak terlalu luas dipakai untuk sapi-sapi berpacu dengan waktu dan debu. Trek pacuannya biasanya 100 meter dengan alokasi waktu sekitar sepuluh detik hingga satu menit. Tak lupa ada pembagian babaknya juga.

Di beberapa kota di Madura, karapan sapi berlangsung pada bulan Agustus – September, kemudian babak final pertandingan diselenggarakan pada akhir September atau Oktober.

Pertandingan final biasanya di gelar di Kota Pamekasan, ajang bergengsi untuk memperebutkan piala bergilir Presiden. Tapi pada bulan November 2013 namanya diganti Piala Gubernur.

Sumber foto: okezonetravel

Sekalipun sejarah permulaannya tidak sama, tetapi kisah perjalanan matador dan karapan sapi tetap saja tak jauh beda. Memang, tak ada majalah dan tabloid yang memasang wajah para joki juara karapan sapi. Tapi seperti matador sebagai julukan untuk Spanyol, karapan sapi juga menjadi ikon budaya di Madura.

Posting Komentar untuk "Matador: Turnamen Olahraga Spanyol"