Notes on Love | 2
dokumen pribadi |
Akhirnya sekalipun belum pernah bertemu dengannya, saya yakin dia
orang baik. Maka saya telah memutuskan
untuk menunggunya untuk dua tahun kedepan, dengan konsekuensi menutup saluran
hubungan dengan orang lain. FOKUS.
Semua terjadi begitu singkat. Telpon
nyasar itu, perkenalan itu, ungkapan itu, sekarang berujung pada komitmen. Hati
saya telah memilih, maka saya siap atas segala
kemungkinan terburuk sekalipun.
Setelah obrolan singkat itu, tidak ada lagi obrolan ke dua, ketiga
dan seterusnya. Kami putus komunikasi. Dengan komitmen masing-masing saya
tanamkan kuat-kuat dalam hati bahwa saya akan menunggunya dan memilihnya untuk
menjadi rekan seiman saya mengarungi bahtera hidup di masa depan.
Dua hari setelahnya Abah meminta saya utnuk segera
kembali kepondok saya di Jepara untuk melanjutkan program salafiyah saya untuk
satu tahun kedepan. Kami benar-benar tidak ada komunikasi.
Masa Penantian, Saya Kirim Fatihah
Selama menunggu masa dua tahun habis, ternyata memepertahankan
komitmen tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Beberapa kali Abah mendatangi
saya memberitahu bahwa ada seseorang yang melamar. Abah mendesak untuk menerima
salah satunya. Ada Khairul Alfin putra sahabat
Abah dari Paiton, Nizami Faruq dari Brebes, Syauqi Aksyaf sepupu dari Pati, tapi
sejauh ini Alhamdulillah selau bisa saya hindari.
Saya memang belum bilang apapun perihal Anam kepada Abah. Khawatir
Anam ingkar janji sekalipun saya yakin dia pasti datang. Cinta butuh perjuangan
pikir saya kala itu. Saya percaya dengan kekuatan do’a. Menjadikannya rekan
seiman telah menjadi do’a saya sejak pertama kali berkomitmen utnuk
menunggunya. Maka usaha saya juga saya selingi dengan do’a dan ikhtiyar.
Setiap kali Abah mendesak saya untuk menerima pinangan seseorang,
selalu dengan tegas saya tolak. Kala itu saya mulai merasa tertekan. Tak mau menyerah, saya kirimkan fatihah khusus Abah dan Umi.
“Khusushan ila Abah dan Umi semoga saya hanya
dinikahkan dengan orang Madura itu. Alfatihah,,,”
Itu adalah salah satu mantra saya untuk mempertahankan Anam. Entah
kenapa perasaan yakin ini begitu kuat. Padahal perkenalan kami begitu singkat,
belum pernah bertemu, ngobrolpun hanya sebentar. Tapi caranya meluluhkan hati
sayalah yang berbeda dan membuat saya merasa yakin. Seketika saya merasa nyaman
dan pas dengannya. Karena saya tidak suka dengan lelaki yang terlalu banyak
mengobral. Cara dia mendekati dan melunakkan hati saya itu yang keren. Sulit
terbayangkan menemukan sepertinya di zaman sekarang. Itulah sebab saya terpikat
untuk pertamakalinya dan semoga juga jadi yang terkhir. bibarakatilfatihah,,,,
Tidak hanya itu, suatu hari Abah kembali meminta saya untuk
menerima pinangan anak sahabat beliau. Lagi-lagi dengan sopan saya tolak.
Belakangan saya tahu beberpa dari daftar nama yang abah bacakan
setiap hari ternyata salah satunya adalah saudara Anam
di Madura. Beberapa hari setelahnya, orang itu datang lagi dan bermaksud menjodohkan
saya dengan keponakannya. Saya mulai khawatir dengan komitmen saya. Akhirnya
saya kembali curhat pada Tuhan saya katakan bahwa saya ingin Anam bukan yang
lain.
Suatu pagi saya membuatkan teh untuk Abah dan Umi. Lalu saya
niatkan dalam hati, ya Allah jika perbuatan saya ini engkau nilai baik, saya
jadikan ini sebagai wasilah terkabulnya do’a-do’a saya untuk hidup bersama Anam.
Hal seperti itu saya lakukan setiap kali melakukan hal yang saya
nilai baik. Bukankah birrul wa lidaini ihsana bisa menjadi jalan pembuka
atas terkabulnya do’a yang telah saya tanamkan di hati? Bukankah itu janji Tuhan?
Lalu mengapa mesti khawatir? Ah,,,
Saat sudah lulus dari pondok, saya diminta Abah untuk mengajar
kitab Tafsir al-Quran di pesantren. Lagi hal itu saya niatkan untuk menjadi
wasilah terkabulnya do’a saya. Saya meyakini setiap sesuatu butuh perantara,
dan hal positif hanya bisa dicapai dengan perantara yang positif untuk hasil
yang barokah.
*bersambung
Posting Komentar untuk "Notes on Love | 2 "