Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Halo, Mbak Lel!

  

dokumen pribadi


Apa kabar hari ini, Mbak Leli?

Saya berharap setelah ini akan ada pertemuan-pertemuan lagi. Pertemuan kedua, ketiga, keempat, dan pertemuan tak terhingga sesuai rencana kita.

Semoga kita akan bertemu lagi, nanti. Aku dengan abangku, dan kamu dengan abangmu yang kau ceritakan itu. Saya tidak mengira komunikasi kita benar-benar akan berlanjut. Sewaktu kamu bercerita tentang pekerjaan dan background pendidikanmu, aku mendengarkan dengan baik.

Aku menyimak sambil bercakap-cakap sendiri dalam kepalaku. Biar nanti kuberi tahu isi kepalaku kepadamu. Sekarang, aku ceritakan dulu bagaimana kita memulai temu.

***

Hari itu Minggu, 05 Desember 2021.

Kita satu bis dalam perjalanan Pamekasan-Malang untuk mengikuti ruang kelas ter-aneh dan ter-unik di Indonesia, bahkan—mungkin—di dunia. Namanya Ruang Kelas Berjalan. Kegiatan yang unik, pematerinya juga unik, peserta, panitia, bahkan founder komunitas yang mengadakan acara itu justru yang paling unik. Hahaha.

Saya baru tahu di Pamekasan ada komunitas literasi Bernama Kotheka. Maklum, saya mahluk baru di Pamekasan. KTP saya saja baru diperbaharui bulan lalu.

Barangkali Mbak Leli sudah tahu lebih dulu dari pada saya. Barangkali pula, komunitas ini semacam komunitas Dapur Kultur di Sumenep. Yang jelas, saya lebih mengenal Dapur Kultur dari pada Kotheka karena memang aslinya saya warga Sumenep.

Selama 19 jam dalam bis, kemudian saya mulai paham, Kotheka ini bukan komunitas kacangan. Saya paham, tidak mungkin lahir ide aneh-aneh kalau penghuninya adalah makhluk kaku dengan the old mind-nya yang aduhai.

Ruang Kelas Berjalan adalah ide baru yang segar dan renyah. Ya kan, Mbak Lel? Demi Ngumpul yang Asik akan memberikan gairah baru untuk yang muda-muda. Ini baru namanya anak muda!

Kemudian  di antara orang-orang itu ada satu yang lagi yang keren. Karakternya pendiam dan tenang. Dia perempuan yang anggun dan istimewa seperti mawar. Ketika Mbak Novi memintanya untuk berbicara, barulah saya tahu kembang itu beraroma semerbak. Aroma mawar yang khas.

Kamulah itu, Mbak Leli, yang anggun dan cantik-elegan seperti mawar. Ketika Mbak Novi bilang ada penumpang yang nanti akan naik di Belgia (sebutan keren untuk Blega, Madura), saya cuek. Saya sama sekali tidak tahu bahwa penumpang terakhir bis kita adalah si Mawar.

Sungguh benar-benar acara yang asik, kocak, dan egaliter. Setelah nyaris separuh penduduk bersuara, saya tahu bahwa peserta kelas berjalan itu datang dari berbagai kalangan. Mahasiswa, dosen, pegiat-pegiat literasi kampus, peneliti muda, blogger, guru, hingga penjual jamu. Ada yang kocak dan berisik, ada yang gemar unjuk gigi dengan bertanya, ada yang memilih menyimak dan tertawa saja. Tapi keseluruhan adalah pecinta literasi termasuk Pak Sopir yang saya belum lihat wajahnya.

Saya senang sekali hari itu, Mbak Lel..  

Usai makan kita yang terakhir, kita duduk berdua saja. Bercerita tentang hal-hal yang aku sudah lupa. Bahkan aku lupa untuk mengucapkan terimakasih karena sudah bersedia menunggui aku makan. Aku merasa saat itu juga kita akrab. Akrab untuk sekadar “bebek goreng untukku dan jamur krispi untukmu”, lalu percakapan yang tak juga usai hingga kita masuk rumah masing-masing.

Kamu tahu, Mbak, hal yang paling membuatku insecure adalah; bercakap-cakap dengan seseorang—yang saya tahu dia dari kampus raksasa. Sementara aku terlalu “banyak omong” untuk kampusku yang kurcaci. Hahaha.

Dan mari, biar kuberi tahu apa saja isi kepalaku tentangmu sejak dalam bis hingga saat ini.

Pertama, bagaimana rasanya bekerja dengan professor-profesor—yang dalam pikiran saya, mereka pasti botak semua. Aku lupa nama lembaga tempatmu bekerja, Mbak. Jadi aku tidak bisa mencarinya di mesin pencarian Google.

Kedua dan ketiga biar saya simpan dalam kepala dan akan saya ungkapkan jika nanti kita sudah duduk berdua lagi. Atau.. di tulisan saya selanjutnya. Dah..

 

 

Percakapan kita berakhir pada jam 21.19 WIB, Mbak Lel.

Pamekasan, 25 Desember.

 

  

   

Posting Komentar untuk "Halo, Mbak Lel!"