Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lovember | 4

 

foto pribadi


Hai, Pak Haji.

Sekalipun pagi ini tidak hujan, mari kita lanjutkan percakapan kita seperti kemarin. Cuaca hari ini cerah sekali. Perkiraan cuaca juga berkata begitu, sepertinya baru jam 22.00 nanti hujan baru akan turun.

Ada banyak pertanyaan dan pernyataan dalam kepalaku yang ukurannya lebih kecil dari kepalamu ini. Saya sampai bingung harus memulainya dari mana.

O ya, kenapa kamu melarang saya menggunakan kata “aku” setiap berbicara denganmu? Padahal itu terdengar lebih akrab. Saya sampai harus me-replace setiap saya keliru menulis “aku” saat menulis di laptop. Padahal teman-teman kampusmu biasa berbicara denganmu pakai kata “aku”. Kenapa hanya saya yang tidak boleh? Hei, kalian pembaca barangkali tahu.

Kamu ingat? Sejak kita kenal ternyata tanpa saya sadari kamu suka melarang beberapa hal. Melarang saya menghubungi sebelum selesai belajar. Ya kan? Dulu waktu masih SMK, saya jadi ingin cepat-cepat selesai belajar. Belajarku sampai berkali-kali dalam sehari. Sebelum berangkat sekolah, sepulang sekolah atau malam harinya, dan tentunya ketika di kelas. Begonya, saya melakukan itu dengan riang gembira kayak anak PAUD. Kamu melarang saya seperti kamu melarang kucingmu makan ikan di piring.

Aa.., ya, kalau saya jadi bunda PAUD kamu setuju gak? Tapi saya sendiri ragu. Ragu untuk bernyanyi di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang, padahal saya tidak mungkin merasa senang ada di mana-mana. Misalnya, saya tidak senang kalau disuruh Mama pergi melayat, atau pergi berkunjung ke rumah tetangga yang melahirkan. Itu tidak menyenangkan sekali karena saya sering tidak nyambung dengan ibu-ibu. Mungkin karena kita belum punya anak ya. Saya ingin punya anak 5, lho. Tapi entah kemana saja mereka kok belum ada yang muncul.

Menurut Mama, menjadi bunda PAUD itu menyenangkan, bisa dibuat terapi setres. Kalau lagi kesal dengan satu hal, Mama jadi lupa ketika bertemu anak-anak ompong yang nyanyinya lebih banyak muncul huruf “L. Memang dunia anak-anak itu adalah dunia yang jujur, dunia yang ringan tanpa beban, yang riang gembira di mana-mana asal ada mainan dan permen.

Tapi semakin dewasa, rumusnya semakin tidak sederhana. Kita menjadi tidak mudah melupakan masalah, seperti anak kecil lupa mobilnya yang rusak ketika diapusi beli es krim. Orang dewasa menjadi semakin dewasa dengan masalahnya. Anak-anak menjadi lucu karena tingkahnya. Lalu hidup seperti apa yang seharusnya?

Ternyata perkiraan cuaca itu keliru, Pak Haji. Ini baru jam 10.00 tapi ternyata hujan sudah turun.

Memang hidup tak ada yang tahu ya, manusia hanya mengira-ngira saja. Kadang benar, kadang pula salah. Kadang sudah jelas-jelas salah, tapi merasa dirinya tetap paling benar. Ada yang sebenarnya benar, tapi rendah hati dan tak mau menang sendiri.

Saya juga tidak mengira hari ini bisa duduk di serambi rumahmu, bercakap banyak hal, menikmati hujan. Lucu sekali, kucing yang sering kamu larang-larang dulu, sekarang sering duduk menunggumu pulang.

Sebelum kita menikah, saya menerima banyak sekali materi. Mulai dari materi klise tentang tugas dan kewajiban seorang istri sampai “provokasi keren” yang terinspirasi dari pasangan milenial Kalis Mardiasih dan suaminya Agus Mulyanto tentang  keluarga netral gender. Keduanya saya kira berlainan sama sekali. Kedua teori itu seperti saling menyerang.

Yang satu seperti meminta kerendahan hati saya untuk mengerjakan tugas-tugas rumah dengan sabar dan tabah sebagai kodrat seorang istri nantinya. Sementara teori keluarga netral gender berteriak keras bahwa selain menstruasi, kehamilan, persalinan, nifas, sampai menyusui , semua pekerjaan rumah tanga tidaklah berjenis kelamin.

Ah, tentunya semua itu tujuannya baik. Sama baiknya dengan tujuan mengapa agama dan ilmu pengetahuan itu ada.

Untung saja ketika benar-benar menikah saya tidak harus pusing dengan kedua teori itu. Karena ternyata Pak Haji ini memang begini adanya. Dia tidak dibentuk oleh budaya patriarkis yang nalar maskulinnya begitu kuat. Dia jelas tidak membaca buku-buku ‘keras’ yang sering saya kaji soal perempuan dan kaum egaliter.

Tetapi sikapnya menjelaskan bahwa dia tidak ambil pusing dengan teori itu, bahkan dia mungkin tidak tahu ada teori semacam itu. Dia hanya ingin meringankan beban saya dengan membantu saya menyapu, mencuci, menjemur pakaian, memasak, dan kecuali melipat baju.

Terimakasih, Pak Haji. Saya tidak tahu harus mengungkapkannya seperti apa lagi. Gus Mus pernah menulis puisi Sajak Cinta. Penyair selalu menulis puisi untuk perempuannya. Ketika Pak D. Zawawi ditanya apa nikmatnya menjadi penyair, belaiu menjawab karena penyair selalu merasa tersesat di jalan yang benar.

 cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya

cinta romeo kepada juliet, si majnun qais kepada layla belum apa-apa

 

aku adalah a-k-u

k-a-u

mu

***

Saya rasa puisi itu benar, Pak Haji. Saya tidak bisa menyamakan kisah kita dengan kisah siapa saja di dunia. Penyair memang menyesatkan.

Pak Haji, bagiku kamu adalah apa yang tak pernah habis aku tulis.

 

 

Pamekasan, 22 November 2021

Dari jam 05.30 – 12.32

Dari tak ada hujan sampai gerimis jatuh berkali-kali

Posting Komentar untuk "Lovember | 4"