Lovember | 3
foto pribadi |
Pagi ini hujan turun
dengan irama teratur. Tidak terlalu deras tidak pula gerimis. Ini adalah hujan ringan
yang biasa terjadi pada bulan November. Berbeda dengan hujan yang turun pada
akhir Desember atau awal tahun. Pada bulan-bulan itu hujan akan disertai badai
dan angin topan. Lalu televisi dan koran harian akan penuh dengan berita
banjir, tanah longsor, korban tsunami, dan para wartawan akan berkerumun
seperti segerombolan lebah.
Saya ingin
bercakap-cakap dengan Pak Haji Akbar. Sebenarnya kami sering bercakap-cakap
hingga larut malam tentang apa saja, melantur hingga tak tahu apa tema
pembahasannya. Kadang juga berbicara soal kisah-kisah lalu sejak kita masih
sama-sama duduk di bangku sekolah.
Percakapan kami hangat
dan menarik. Tetapi akan menjadi kaku dan beku kalau temanya sudah mulai
merambat ke dunia robotiknya. Dan dia menjadi bertingkah aneh setiap saya
berbicara soal buku-buku, cerita, atahu legenda. Dia bilang sedang menyimak,
tetapi tatapannya kemana-mana. Setelah saya tegur dia akan bilang, “Telinga saya
di sini mendengarkan.” Padahal sebelumnya kami mengobrol asik dengan bertatap-tatapan.
Beberapa hari ini saya
kurang enak badan, tak mampu melakukan aktivitas seperti biasa tetapi cukup
sehat untuk hanya tidur seharian. Tak ingin mati kebosanan di kamar, saya membaca
buku; melanjutkan Sapiens-nya Yuval Noah Harari, buku catatan Maudy Ayunda,
Pengantar Feminisme, beberapa tulisannya Made Supriatma, pokoknya apa saja asal
otakku tidak mati kelaparan.
Kadang juga saya menulis.
Atau mendengarkan audio Tutur Tinular. Ada sekitar 24 episode. Setiap
episodenya ada 30 seri, keseluruhan lebih dari 700 seri. Setiap seri durasinya
tak kurang dari 30 menit. Kalau dikalkulasi, 30 menit x 700 seri = 21.000 menit
yang saya butuhkan untuk menghatamkan Tutur Tinular. Kurang lebih butuh 15 hari
kalau saya mampu duduk sehari-semalam tanpa jeda.
Kalau masih suntuk saya akan menambahkan beberapa lagu pada playlist. Tentu musik yang cocok didengarkan sendirian di kamar saat hujan turun, setidaknya cocok menurut saya sendiri. Ada Come Home to You (Maudy Ayunda), Come Home (One Republic), Closer (JP Cooper), Run (Joel Compass), Runnin’ (Lose It All – Naughty Boy), sebenarnya masih banyak lagi tapi saya tidak cukup iseng untuk harus menulisnya satu-satu di sini.
Saya menikmati sekali lagu Maudy. Sejak pertama kali dirilis, saya merasa lagu itu mewakili sebagian besar perasaan saya kepada Pak Haji—kala itu. Kalian tahu, saya dan dia dipisah paksa jarak dan waktu. Pulang bagi kami menjadi kata paling bahagia sekaligus luka, karena barangkali rumahku adalah dirinya. Jika jarak membuat hati ini tumbuh, maka pasti hatiku sudah 10 kaki tingginya.
If home is where
the heart is
Then my home is you
But I’m miles away
And we’re hours
apart
If distance make the heart grow
Then mine is ten feet all—.
***
Oh ya, Pak Haji. Kalau
kamu menjadi perempuan dalam kisah Tutur Tinular, kau memilih menjadi siapa?
Nari Ratih, Mei Shin, atahu Sakawuni? Ketiganya cantik. Dan semuanya adalah
perempuan yang dekat dengan Arya Kamandanu. Tapi pada akhirnya Danu menikah
dengan Wuni si pendekar lengan seribu. Kemampuan bela diri Wuni sangat tinggi
sekalipun tidak mampu mengungguli Danu.
Mei juga seorang
pendekar di negerinya, Mongolia. Tetapi Mpu Hanggareksa, ayah Kamandanu, tidak
menyetujui hubungan Danu dengan Mei. Karena Mei adalah bangsa asing, yang
menurutnya kastanya lebih rendah dari leluhur Danu. Akhirnya Mei kabur dan Danu
tidak bisa menemukannya.
Ratih dulu juga saling
jatuh cinta dengan Danu. Tapi Kamandanu itu pendekar yang ragu-ragu. Meragukan
dirinya dan meragukan cinta Ratih. Nari Ratih lalu klepek-klepek dengan syair
Arya Dwi Pangga saudara Danu, lalu mereka menikah. Kamu pilih yang mana, Pak
Haji?
Jangan memposisikan dirimu seperti Kamandanu ya, karena pasti kamu memilih menjadi Sakawuni sebagai pemenang. Kamu bukan Danu. Kamu ga punya ilmu aji seipi angin. Kamu juga tidak menguasai ilmu kanuragan. Tidak akan mampu menaklukkan senjata pusaka naga puspa milik Mpu Ranubaya. Tapi kamu juga tidak bisa disamakan dengan Pangga yang mengaku-ngaku pendekar syair yang suka menebar puisi setiap kali melihat perempuan cantik.
Kadang aku berpikir di
antara ketiga perempuan itu siapa sebenarnya yang paling beruntung. Kadang aku
ingin cantik dan dipuji-puji seperti Dyah Ayu Pitaloka seorang putri dari
Sunda. Tapi kisahnya terlalu mengenaskan, ia cantik tapi mati saat akan
membalas lamaran tunangannya, pangeran Hayam Wuruk.
Tapi kadang saya ingin
hebat seperti Sakawuni. Atau seperti Ardhaniaswari yang dari rahimnya lahir
raja-raja besar Jawa. Hingga raja-raja Majapahit yang daerah kekuasaannya
membentang luas hingga Malaysia, Singapura, Brunei, dan Sebagian kecil
Filipina. Kita juga tidak tahu sejarah sebelumnya, bisa saja bahkan lebih luas
dari itu.
Kebanyakan sejarawan
Indonesia percaya bahwa konsep kesatuan nusantara bukanlah pertama kali
dicetuskan oleh Gajah Mada dalam sumpah palapanya. Tapi konsep Cakrawala Mandala
Dwipa, yang dicetuskan Kertanegara raja Singhasari. Entahlah, Pak Haji, katanya
nusantara dulu adalah bangsa yang besar. Kita sebenarnya adalah bangsa senior
dibanding Eropa, China, bahkan negara super power Amerika itu. Kalau itu benar,
maka leluhur kita adalah bangsa yang berperadaban tinggi, negara digdaya, dan
tidak bisa dianggap remeh.
Barangkali para ilmuan
dan sejarawan kita sedang sibuk mengumpulkan data penting dan akurat untuk
mengungkap itu. Saya pernah membaca penelitian ilmiah karya Prof. Arysio Santos
seorang fisikawan nuklir di Brasil. Ia membantah secara ilmiah fakta sejarah. Katanya
surga Atlantis yang disebut-sebut Plato itu ada di timur. Di tanah lahir kita. Di
nusantara.
Tapi kau tahu apa yang
terjadi? Profesor Santos itu mati kira-kira 2 bulan sebelum bukunya diterbitkan.
Beruntung ada seorang yang menyelamatkan, dan akhirnya bisa diterbitkan lalu diterjemah
menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh bangsa kita sendiri. Judulnya Atlantis
The Lost Continent Finally Found.
Saya membaca penelitian
itu disela-sela gemuruh rinduku padamu. Apa yang bisa kulakukan denganmu yang
jauh di Surabaya, sedang aku adalah siswa kelas XI yang kacau. Tidak ada yang
bisa menawarkan rasa kacauku selain membaca dan berdiskusi dengan teman-teman. Setidak-tidaknya
aku merasa lebih baik barang sesaat.
Perasaan itu menyesakkan
sekali, dulu. Merasa rindu tapi tak punya nyali untuk bertanya kabar. Aku perempuan,
terlalu malu untuk memulai, tapi terlalu rapuh untuk menahan.
But I’m miles away
And we’re hours
apart—.
Sabtu, 20 November 2021
Posting Komentar untuk "Lovember | 3"