Lovember | 2
dokumen pribadi |
Musim hujan memang menumbuhkan
segalanya, termasuk kenangan.
Kenangan saya dan doi muncul tidak
beraturan, tapi secara keseluruhan adalah gelombang kecil seperti riak-riak
hujan bulan November.
Seperti puisi-puisi yang saya buat
dan saya baca saat rindu berdentam keras melawan detak jantung. Seperti lagu-lagu
yang saya nyanyikan sesuai suasana dan perasaan belasan
tahun silam.
Tetiba muncul ingatan tentang masa
kecil saya yang jatuh cintanya terlalu tergesa. Waktu itu kita terlalu muda
untuk menanggung getaran cinta yang begitu kuat. Waktu itu saya kewalahan
mengatasi diri saya sendiri yang tiba-tiba melompat-lompat senang melihat dia
datang, sekadar berkunjung atau memberikan materi.
Kita bertemu saat wajah kita masih
sama-sama imut. Saya kelas 2 SMP, dan dia baru saja masuk SMA. Kita beda
sekolah, namun sebab kegiatan ekstrakulikuler, saya mengenalnya sebagai kakak pembina
yang paling ganteng. Semua teman-teman bilang kalau dia paling ganteng, “Sayangnya
dia cuek,” kata beberapa teman. Diam-diam, saya senang sebab diantara semua teman-teman
OSIS, hanya saya yang punya kesempatan emas untuk bertukar komunikasi
dengannya.
Pak Haji, sebenarnya
saya malu menulis ini. Tapi jauh lebih kuat perasaanku untuk merapikan kenangan
yang memukul-mukul kepalaku sejak kemarin.
Saya dapat mengingat hampir semua
tentang dia; warna kaos kaki monochromnya, warna kaos armynya, potongan rambut,
tas sekolah, hoodie, sandal jepit, lagu kesukaan, kopyah, sampai senyum dan
cara dia berbicara. Saya mengingatnya sepanjang waktu dan tersenyum karenanya,
dan saya merasa mulai gila. Lalu saya
sadar saya mulai merasakan atmosfer jatuh cinta.
Pada usia itu saya tahu perasaan
semacam ini terlalu sinting, tapi saya tidak tahu bagaimana mengatasinya bahkan
menghilangkannya. Saya seperti orang tolol setetelah minum anggur
berbotol-botol. Bersenandung, berbicara sendiri, jungkir balik saat melihat di
layar handphone muncul notifikasi SMS darinya. Oh, Tuhan, tolol sekali.
Kian waktu perasaan itu kian menguat
dan saya semakin bingung bagaimana menyalurkannya.
Jangan kau
sebut namanya, atau tubuhku akan bergetar.
Puisi Rumi ini seperti mewakili
perasaan saya kala itu, sekalipun tentu saja Rumi tidak menulis puisi itu
untukku.
Saya berpikir keras untuk mengatasi
penyakit yang baru ini. Lalu saya mulai menulis. Menulis cerita, menulis puisi,
menulis kisahku sehari-hari di buku. Kalian harus percaya, buku itu ada sampai
saat ini. Semuanya lengkap. Dulu saya menyimpannya dengan hati-hati khawatir
teman-teman ada yang tahu, beberapa waktu lalu saya tawarkan doi untuk
membacanya dan seperti yang kalian duga, dia tidak tertarik.
Ah, ternyata sudah sebelas tahun
lalu, Pak Haji. Sebelas tahun itu terlalu panjang kalau harus merapikannya
satu-satu, menulisnya selembar selembar, merajutnya menjadi satu kain utuh
dengan gambar wajah kita di sana.
Tentu saja bukan tidak ada gejolak
atau semacam gelombang pada rentang waktu itu. Entah temanku, atau temanmu
selalu bertanya tentang bagaimana kita tetap menjalin hubungan dengan baik, sementara
setelah beberapa waktu kau memutuskan untuk kuliah di Surabaya dan menghabiskan
waktu enam tahun lebih di sana.
Anak-anak suka bertanya, bukankah di
Surabaya kamu akan bertemu banyak perempuan menarik? Iya, memang. Jawabku. Kampusmu
dekat dengan Unair, aku tahu mahasiswinya pasti kinclong-kinclong, berduit, dan
otaknya ga kira kosongan. Apalah aku dibanding mereka.
Tapi teman-teman, Pak Haji ini bukan
Arya Dwipangga si Pendekar Penyair yang suka menebar puisi dan mengumbar kata
di depan perempuan bening. Dia juga bukan Pai Pai dalam tokoh anime yang
pengkhianat itu. Dia tidak tertarik dengan mahasiswi Unair, apalagi teman
sekelasnya, teman satu prodi. Bukan karena mereka tidak menarik, tetapi karena bukan
mahasiswi itu yang menjadi tujuannya berada di Surabaya.
Saya yang waktu itu masih kelas XI,
tentu tidak paham ini. Tidak ada yang mengajarkan soal itu di kampung. Orang tuaku
sibuk bertani, saya sendiri
harus rajin ke sekolah, dan guru-guru berbicara tentang rumus-rumus. Dan memang
tidak ada pembahasan dalam percakapan saya dan Pak Haji waktu itu yang mengarah
pada hubungan.
Hingga berbulan-bulan
kemudian dia hilang tapi berbekas seperti asap di kota-kota industri. Sekali waktu
tiba-tiba muncul tanpa ada kabar sebelumnya, saya melompat karena merasa senang
bertemu teman lama.
Saya senang sekali
mengenang itu semua. Sama menyenangkannya dengan makan jagung bakar saat hujan sambil
melamun sesuatu. Atau seperti sedang menikmati secangkir cokelat dan kopi di
kedai dekat kampusmu.
__________________________
Reda hujan
Jam 23.33 pm.
19 November 2021
Posting Komentar untuk " Lovember | 2"