MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI PLURALISME GUS DUR; UPAYA MENCIPTAKAN
TOLERANSI DAN PERDAMAIAN INDONESIA
Oleh | Lailatul Qamariyah
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH
GULUK-GULUK SUMENEP MADURA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hari ini kita kerap menyaksikan berbagai tindakan
konflik dan kekerasan yang melanda Indonesia. Beberapa waktu lalu, terkait
kekerasan atas nama agama, teror bom kembali “menghantui” Indonesia. Kali ini
yang menjadi target sasaran adalah kawasan Tamrin, Jakarta Pusat. Menurut data
Wahid Institute (2012), jumlah peristiwa kekerasan atas nama agama memang terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, peristiwa kekerasan
atas nama agama berjumlah 121 kasus, tahun 2010 berjumlah 184 kasus, tahun 2011
berjumlah 267 kasus, dan tahun 2012 berjumlah 278 kasus.
Dari semakin
maraknya konflik dan kekerasan yang terjadi, tidak mengherankan bila Indonesia
masuk dalam kategori very high warning dengan menempati peringkat ke-63
dari 177 negara dalam indeks negara gagal (failed state index) yang
dirilis oleh The Fund for Peace (2012). Sementara negara-negara tetangga
seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Vietnam, yang masing-masing menempati
posisi lebih baik yaitu 111, 157, 124, 96.
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Institute for Economics and Peace (2013), terkait masalah Global
Peace Index (GPI) dan Terrorism Index (TI), fakta menunjukan bahwa tingkat
perdamaian paling rendah dan tingginya tingkat terorisme justru dihuni oleh
negara-negara yang bermayoritas Muslim. Menurut data GPI (2013), 6 peringkat
terbawah dalam hal negara paling tidak damai (the least peaceful country)
ditempati oleh Pakistan (157), Sudan (158), Iraq (159), Suriah (160), dan
Afghanistan (162). Dari 162 negara yang diteliti, hanya 4 negara Muslim yang
masuk dalam kategori negara paling damai (the very peaceful country).
Pencapaian yang tertinggi didapat oleh Qatar (19), Malaysia (29), Uni Emirat
Arab (36), dan Kuwait (37). Dalam laporan tersebut, Indonesia sendiri menempati
posisi 54 dengan skor 1.879.
Dari pelbagai
masalah di atas, sudah saatnya kita harus mengakhiri segala macam bentuk
konflik dan kekerasan yang ada di Indonesia. Ada banyak upaya yang bisa kita
lakukan, salah satunya, belajar dari apa yang pernah ditelandankan oleh Abdurrahman
Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Mengingat sosoknya sebagai tokoh
pluralis yang mencintai perdamaian dan toleransi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pluralisme dalam Pandangan Gus Dur?
2.
Bagaimana Pandangan dan Tindakan Gus Dur dalam merekatkan
Perdamaian dan Toleransi?
3.
Bagaimana kontribusi pluralisme Gus Dur Terhadap Perdamaian dan
Toleransi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui konsep pluralisme dalam pandangan Gus Dur.
2.
Untuk mengetahui pemikiran dan tindakan gus dur dalam upaya merekatkan
perdamaian dan toleransi.
3.
Untuk mengetahui kontribusi pluralisme Gus Dur terhadap perdamaian
dan toleransi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pluralisme Gus Dur
1.
Mengenal Gus Dur
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur
adalah kiai NU yang nyentrik dan kontroversial.[1]
Semua itu tidak lepas dari sikap dan gaya bicara Gus Dur yang menimbulkan pro
dan kontra.[2] Pemikirannya
sulit dipetakan bahkan mencakup seluruh kategori disiplin keilmuan. Ia seorang
santri dan priyai sekaligus.[3]
Bahkan tokoh ini dianggap sebagai sosok yang unpredictable dan misterius.
Merujuk pada ucapan dan tindakan Gus Dur yang sering sulit dinalar, dan selalu
memberikan kejutan-kejutan yang tidak terprediksikan.[4]
Banyak gagasan mengenai Gus Dur yang mencoba mengulasnya dari berbagai sisi,
diantaranya; politik, ekonomi, pesantren, spiritualitas, kepemimpinan, budaya,
keislaman, demokrasi, pluralisme, dan lain-lain. Penulis dan penerbitnya sangat
beragam. Hal ini seolah menandai kepribadian Gus Dur yang mencintai
keberagaman.
a.
Garis Keturunan dan Lingkungannya
Gus Dur merupakan putra dari K.H Abdul Wahid Hasyim, yang merupakan
putra K.H Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan ibunya
Sholehah adalah putri dari K.H Bisri Syamsuri, pendiri pesantren Denanyar
Jombang. Apabila dirunut lebih jauh, garis keturunan Gus Dur bersambung pada
raja-raja besar di tanah Jawa. Dari pihak ayahnya, melalui garis neneknya (Ny.
Nafiqoh, istri K.H. Hasyim Asy’ari), garis keturunannya bersambung pada Ki
Ageng Tarub I. lengkapnya adalah Nafiqoh putri Markinah, putri Pangeran Kajuran,
putra Penembahan Senopati, putra Kiai Ageng Solo, putra Kiai Ageng Ketis, putra
Jaka Tarub II, yang akhirnya bermuara pada Sultan Demak, Raden Brawijaya VI,
raja terakhir kerajaan Majapahit, yang berkuasa pada tahun 1478-1498.
Sedangkan dari pihak ibu, garis keturunan bersambung ke Jaka
Tingkir atau Sultan Adiwijaya, rajapertama Kesultanan Pajang (1549-1582).
Lengkapnya adalah Sholehah putri Siti Khodijah, putri K.H. Hasbullah, putra
Fatimah, putri Sichah, putri Abdul Jabbar, putra Ahmad, putra Pangeran Sambo,
putra Pangeran Banawa, putra Jaka Tingkir, yang akhirnya juga bermuara pada Sultan
Demak, Raden Wijaya VI. Selain itu, ayah Gus Dur jugamasih sepupu satu buyut
dengan R. Ng. Haji Minhadjurrahman Djojosoegito, pendiri jaringan Ahmadiyah Indonesia
aliran Lahore.[5]
Gus Dur juga pernah secara terbuka mengatakan bahwa ia memiliki
darah Tionghoa. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa Gus Dur secara
nasab memang meiliki garis “darah biru”.
Terlepas dari
semua itu, Gus Dur lahir di lingkungan tradisi pesantren yang kuat di Pesantren
Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, Gus Dur juga tumbuh dan berkembang di
alam modern yang kuat pula, di ”kawasan Menteng”. Dua lingkungan ini telah
menyatu di dalam diri Gus Dur, yang kemudian terefleksi pada
pikiran-pikirannya. Dunia pesantren telah memungkinkan Gus Dur memahami dan
mendalami pemikiran-pemikiran klasik Islam, khususnya yang berakar pada tradisi
Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA).
Pada
lingkungan keluarganyapun, Gus Dur tumbuh di lingkungan keluarga yang memiliki
pemikiran maju dan taat beragama. Ayahnya seorang “kutu buku”.[6] Maka tidak mengherankan jika
pada tahap ini Gus Dur tumbuh menjadi pecandu bacaan yang kemudian berpengaruh
pada kekayaan wacana dan keluwesan berpikirnya.
b.
Spiritual
Gus Dur dikenal sebagai sosok yang bisa belajar banyak hal secara
otodidak dalam taraf yang sangat tinggi. Refleksi dan aktualisasinya terhadap
berbagai persoalan serta interaksinya dengan berbagai disiplin keilmuan telah
menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru yang sangat mendalam, yang secara
intelektual, moral dan spiritual bisa dipertanggungjawabkan.
Gus Dur memiliki berbagai bentuk karakter spiritualitas yang
kemudian berpengaruh pada seluruh gerakan, carapandang dan tindakannya.
Semuanya tentu tidak lepas dari bagaimana ia memahami agamanya. Abdul Wahid
Hasan mengelompokkan tipologi spiritual mengarah pada empat bentuk, yaitu:
spiritual-humanis, spiritual-inklusif-kosmopolit, spiritual-dinamis-progresif,
dan spiritual-mistikal-trans-eksistensial. Berikut ulasannya:[7]
- Spiritual-humanis, dalam kacamata
pandang Gus Dur, manusia menjadi sasaran utama guna dimanusiakan (istilah
populernya; memanusiakan kemanusiaannya manusia). Seorang humanis berarti
individu yang meletakkan kemanusiaan dengan memberikan rasa cinta dan kasih
sayang, perlindungan dari penindasan dan ketidak adilan, menebarkan kedamaian,
kenyamanan, dan harmoni. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan, meruntuhkan
martabat, penindasan, diskriminasi dan perbuatan-perbuatan yang menodai
kemanusiaan menjadi musuh utama manusia humanis. “Kecintaan kepada sesama manusia”
inilah yang melandasi pemikiran dan gerakan yang dilakukan oleh Gus Dur. Sebab,
hal itu menjunjung tinggi martabat manusia dengan memberikan perlindungan, rasa
aman dan nyaman bagi orang lain merupakan bagian dari upaya untuk meninggikan
martabat agama.
- Bagi Gus Dur, Islam adalah agama
yang terbuka dan memberikan jaminan kebebasan kepada manusia untuk berpikir dan
menentukan pilihan keyakinannya sendiri sesuai dengan pengetahuan dan
pengalaman yang dialami. dengan prinsip ini, Gus Dur tidak lagi perlu
membesar-besarkan perbedaan ritual formal yang terdapat dalam bebagai agama dan
keyakinan orang. Baginya, persoalan atribut agama dan bentuk-bentuk formal
lainnya menjadi tidak penting, sebab ada yang lebih penting, yakni keluhuran
moral. Dengan demikian, hati nurani kemanusiaan yang paling dalam selalu
menjadi dasar utama pertimbangan pengambilan keputusan Gus Dur.
- Spiritual-dinamis-progresif, dalam
pandangan berbagai kalangan Gus Dur dikenal sebagai tokoh intelektual dan
spiritual yang selalu menghendaki perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik.
Sekalipun nama atau label yang dilekatkan pada gerakan dan pemikirannya itu
beragam, tetapi intinya tetap bermuara pada cita-citanya, yaitu tercpainya
kebaikan, dan keindahan bagi semua manusia sehingga mereka semua merasakan
kasih sayang Tuhan dalam kehidupan yang konkret.
- Spiritual-mistikal-transeksistensial,
hal-hal yang bersifat mistik, dan seringkali berada di luar jangkauan akal dan
indera manusia memang banyak menyelubungi kehidupan Gus Dur. Gus Dur termasuk
salah seorang yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan roh orang-orang yang
sudah meninggal. Ia seperti mampu melampaui eksistensi dirinya dan masuk
bertautan dengan eksisrtensi lain, yang tidak bisa dilakukan oleh orang-ornag
biasa. Fenomena seperti ini hanya bisa terjadi pada paraorang-orang yang sudah
memiliki kemampuan istimewa dalam hati dan jiwanya, seperti para nabi dan wali.
c.
Karya-karya
Selain sebagai aktivis berbagai kegiatan, Gus Dur juga seorang
intelektual yang produktif. Dasar-dasar keilmuan diperolehnya secara otodidak
dengan membaca berbagai buku menyebabkan Gus Dur menjadi seseorang yang kaya
akan teori dan ilmu pengetahuan. Ia banyak melahirkan tulisan yang sangat
beragam. Tulisanya banyak dijumpai di majalah, media massa, jurnal, surat kabar
dan beberapa tulisan yang belum dipublikasikan. Hal ini mengindikasika bahwa
Gus Dur selalu merespons persoalan-persoalan yang terjadi pada waktu itu
melalui tulisan-tulisan (di samping juga secara lisan). Dengan demikian
tulisannya tampak zig-zag dan acak.
Pokok-pokok pemikiran Gus Dur dalam
karya-karya yang diproduksinya dari tahun 1970–an hingga 1990-an dalam tabel
berikut:[8]
Tabel 1.
Jumlah Tulisan Gus Dur Dengan Berbagai Bentuknya
NO |
Bentuk Tulisan |
Jumlah |
Keterangan |
1. |
Buku |
12 buku |
Terdapat pengulangan tulisan |
2. |
Buku terjemahan |
1 buku |
Bersama Hasyim Wahid |
3. |
Kata pengantar buku |
20 buku |
- |
4. |
Epilog Buku |
1 buku |
- |
5. |
Antologi Buku |
41 buku |
- |
6. |
Artikel |
263 buah |
Dari berbagai majalah, jurnal, surat kabar, dan media massa |
7. |
Kolom |
105 buah |
Di berbagai majalah |
8. |
Makalah |
50 buah |
Sebagian besar tidak dipublikasikan |
9. |
JUMLAH |
493 buah |
|
Tabel 2.
Tema Pokok Pemikiran Gus Dur
NO |
Tema Pokok Pemikiran |
Jumlah |
Tulisan Keterangan |
1. |
Pandangan Dunia Pesantren |
70 buah |
Termasuk tema pesantren vs modernisasi, dan pengembangan masyarakat |
2. |
Pribumisaasi Islam |
43 buah |
Termasuk tema pembaharuan Islam |
3. |
Keharusan Demokrasi |
140 buah |
Termasuk tema civil society dan pemberdayaam ekonomi |
4. |
Finalitas Negara Bangsa Pancasila |
73 buah |
Termasuk tema hubungan NU, agama dan negara |
5. |
Pluralisme Agama |
31 buah |
Termasuk tema Islam toleran dan inklusif |
6. |
Humanitarianisme Universal |
72 buah |
Termasuk tema HAM, gender dan lingkungan hidup |
7. |
Antropologi Kiai |
24 buah |
Sebagian besar berbentuk kolom |
Tabel 3.
Periodesasi Tulisan Dan Kecendrungannya
NO |
Periode |
Jumlah Tulisan |
Kecendrungan Wacana |
1. |
1970-an |
37 buah |
Tradisi pesantren, modernisasi pesantren, NU, HAM,
reinterpretasi, ajaran, pembangunan, demokrasi, |
2. |
1980-an |
189 buah |
Dunia pesantren, NU, ideologi negara (pancasila), pembangunan, militerisme,
pengembangan masyarakat, pribumisasi islam, ham, modernisme |
3. |
1990-an |
253 buah |
Pembaharaun ajaran Islam, demokrasi, kepemimpinan umat,
pembangunan, HAM, polotik, gender, toleransi agama, universialisme Islam, NU,
globalisasi |
Dari ketiga tabel di atas dapat diambil beberapa kesimpulan
penting; (1) tulisan-tulisan Gus Dur lebih bersifat reflektif, membumi, terkait
dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan pemikiran
transformatif, (2) tulisan-tulisan itu mengindikasikan suatu pandangan yang
tidak hampa teori, atau tidak tanpa visi, sekaligus responsif terhadap
persoalan-persoalan kontemporer yang menjadi isu global abad ke-20 (3)
tulisan-tulisan itu juga menampakkan suatu konsistensi pemikiran, yang sekalipun
dilakukan dengan zig-zag, membentuk suatu formula pemikiran liberal,
kritis-humanities.
Di luar hal itu, beberapa tulisan yang belum diterbitkan, misalnya \Islam
in a Democratic State: A Lifelong Search, pengantar buku A Celebration
of Democracy karya Asrori S. Karni; Islam dan Pancasila: Development of
a Religious Political Doctrine in Indonesia, makalah Dialogue Group
Religion Belief: The Transimission and Development Doctrine di Seoul; [9]
serta beberapa tulisan lainnya.
2.
Pluralisme
Pluralisme
merupakan paham yang lahir akibat adanya pembaharuan pemikiran Islam
(neo-Modernisme berkisar tahun 1970-an) yang kemudian sangat berkembang pada
tahun 1980-an.[10] Berkat
sikap baru ini khususnya dinamisasi pemikiran (ijtihad) dan kajian lainnya maka
lahirlah sikap yang meliputi nafas puralisme.
William L.
Rowe, mengklasifikasikan tiga macam sikap keberagamaan yaitu; eksklusivisme,
inklusivisme, dan pluralisme—Eksklusivisme lebih menganggap agama yang
dianutnya adalah paling benar. Inklusivisme merupakan cara atau sikap
keberagamaan yang terbuka menerima kebenaran agama orang lain dengan tetap
memandang kebenaran agamanya. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap
keberagaman yang menganggap semua agama sama.[11]
Dengan melihat
realitas yang terjadi di Indonesia, secara sederhana pluralisme dapat diartikan
sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama,
dan budaya. Bukan hanya mentoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut,
tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut
logika para pengikutnya. Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran
kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari
keberagaman (pluralitas).
Kenyataan bahwa
Indonesia senantiasa bersikap reseptif terhadap ide-ide asing dan ramah
terhadap peradaban asing, membuatnya memiliki pola religius yang unik. Seperti
kita tahu, Islam bukanlah merupakan agama pertama yang masuk dan berkembang
subur di wilayah ini. Hinduisme dan Buddhisme terjalin erat dalam perkembangan
kerajaan-kerajaan awal di negeri ini.Maka kondisi yang demikian menuntut
lahirnya pluralisme paham keagamaan.[12]
Suatu keniscayaan yang secara pasti lahir di saat pluralitas agama, kultur,
ras, hidup dalam satu lingkup yang sama.
Menyadari akan
potensi tersebut berkembang di Indonesia, Gus Dur berpandangan bahwa
humanitarianisme islamlah, menyangkut ajaran-ajaran Islam tentang toleransi dan
keharmonisan sosial, yang mendorong seorang muslim tidak seharusnya takut pada
suasana plural yang ada di masyarakat modern.[13]
Pemikiran
pluralisme Gus Dur ini dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga dan petualangan intelektualnya yang panjang. Latar
belakang pendidikan Islam tradisional dalam pesantren dan pendidikan modern
yang diterima Gus Dur, membaur menjadi satu dan membentuk gagasan yang unik
dalam dirinya. Semasa di pesantren Gus Dur banyak terpengaruh oleh as-Syafi’i
yang yang memiliki gagasan bahwa kebenaran pemikiran manusia tidaklah absolut
dan seseorang tidak boleh merasa benar sendiri sembari menyesatkan pendapat
orang lain.
Gus Dur
menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan berbagai macam keunikan mulai dari
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, suku, dan postur tubuh serta keragaman
agama dan budaya yang berbeda antara manusia satu dengan yang lainnya. Hal ini
merupakan kehendak Allah yang bersifat kodrati dan hukum Allah. Sunatullah ini
merupakan kekuasaan dan kehendak, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an QS.
ar-Rum ayat 22: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan
langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya
pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 22)[14]
Gus Dur
menyatakan bahwa, sejak lahirnya setiap agama memiliki kekhususannya sendiri,
yang secara mendasar harus ditundukan kepada kepentingan bersama seluruh
bangsa. Agama harus berorientasi pada pendangan-pandangan mengenai martabat
manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang dan
solidaritas hakiki antara sesama umat manusia. Dalam upaya ini, tiap-tiap agama
harus dapat berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain dalam bentuk
pencapaian sejumlah nilai-nilai universal. Hal ini diwujudkan secara nyata
seperti penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan
menyatakan pendapat.[15]
Bukti lain dari
sikap pluralisme Gus Dur dapat juga diamati dari gairahnya yang besar pada
perubahan yang demokratis, kebebasan bicara dan nilai-nilai liberal pada
umumnya.
Gus Dur menilai
berdirinya negara Indonesia lebih disebabkan oleh adanya kesadaran berbangsa
daripada faktor ideologi Islam, inilah yang kemudian menjadikan pola beragama
dan berpikir dalam masyarakat Indonesia termasuk Gus Dur menjadi unik. Dan hal
ini pula yang menjadi pemicu munculnya pluralisme agama.
Pendekatan yang digunakan Gus Dur dalam usaha menampilkan citra Islam ke
dalam kehidupan kemasyarakatan adalah pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini
mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat kultural yang
dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan
wawasan budaya yang ingin dicapai itu. Pendekatan ini lebih mementingkan aktivitas
budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mendorong
transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual. Pendekatan seperti ini
dapat mempermudah masuknya ‘agenda Islam’ ke dalam ‘agenda nasional’ bangsa
secara inklusifistik.
Dengan pemikiran ini diharapkan masyarakat muslim mempunyai kesadaran
kebangsaan, termasuk bahwa negara Indonesia harus dibangun atas dasar kesadaran
ini. Implikasi dari implementasi pemikiran Gus Dur ini adalah adanya
pluralisme.
Kesadaran
semacam ini menurut Gus Dur perlu digalakkan untuk membina kerukunan antar
sesama pemeluk agama. Karena bagaimanapun juga satu agama dengan agama yang
lain pasti berbeda. Kristen dan Yahudi tentu tidak bisa menerima konsepsi dasar
Islam, demikian juga sebaliknya, misalnya tentang konsep ketuhanan. Ironisnya,
jika memang perbedaan menyebabkan kebencian bahkan sampai menghina keyakinan
orang lain tentu ini merupakan suatu bentuk sikap yang kurang terpuji dan tidak
benar. Karena dalam pandangan Gus Dur, agama dan keyakianan apapun pada
dasarnya tetap mengabdi kepada Tuhan. Masing-masing agama mempunyai jalannya
sendiri, tetapi menuju Tuhan yang satu. Karenanya, pemeluk suatu agama tidak
dapat memenangkan dirinya sendiri dan lantas menyalahkan orang lain. Umat Islam
tidak boleh menyebut hanya Islam yang paling benar. Lebih baik umat beragama
bekerjasama menyelesaikan permasalahan manusia.
B. GusDur, Perdamaian dan Toleransi
Ibarat buku, yang tak pernah selesai dibaca, Gus
Dur banyak sekali menyimpan inspirasi-inspirasi yang bisa kita gali dari
perjalanan hidupnya. Seperti Muhammad, Yesus, Socrates, Luther, Gandhi, Ibn
Rusyd, Ibn Arabi, Copernicus, Galileo, Newton dan lainnya, Gus Dur adalah
seorang pemikir besar yang melampaui zamannya. Tidak heran jika
pikiran-pikirannya banyak disalapahmi oleh banyak orang. Banyak orang yang
tidak sadar bahwa pikiran-pikirannya yang melampaui zamannya itu, masih relevan
hingga kini dan bisa menjadi solusi dari pelbagai macam persoalan.
Salah satu dari buah pikirannya adalah tentang
perdamaian dunia dan sikap saling menghormati antar bangsa, agama, dan sesama
manusia. Hal ini dapat dinilai melalui beberapa tulisan Gus Dur tentang
perdamaian dan toleransi. Bahkan seberapa sering ia menghadiri konfrensi
perdamian di beberapa negara.
Perdamaian dan toleransi adalah buah pemikiran
yang sangat universal. Pemikiran seperti ini hanya bisa didapatkan, jika kita
sudah bisa melepas sekat-sekat identitas yang ada dalam diri kita, baik itu
sekat agama, suku, ras, warna kulit, bangsa dan lainnya. Gus Dur berhasil
melepas semua sekat identitas tersebut. Ia memang manusia tanpa sekat. Bagi Gus
Dur, semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya. Dengan
pemikiran inilah, Gus Dur banyak mengabdikan hidupnya untuk manusia dan
kemanusiaan.
Mengenai hal ini, Gus Dur pasti sudah paham
betul makna dari (QS 4:48), (QS 4: 152), (QS 5:2), (QS 21:107), (QS 49:10), dan
(QS 49:13). Itulah sebabnya mengapa ia sangat mengedepankan toleransi,
kemanusiaan, tolong menolong, persaudaraan, dan perdamaian. Sebagaimana Gandhi
dengan ajaran Ahimsa, Gus Dur juga sangat membenci kekerasan dan peperangan.
Hal ini bisa dilihat dari kumpulan tulisannya yang dibukukan dengan judul
Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Dalam beberapa tulisannya di buku tersebut,
Gus Dur ingin sekali menjelaskan bahwa hakikat Islam sesungguhnya adalah agama
perdamaian (rahmatan lil’ alamin), bukan agama kekerasan. Seperti dalam salah
satu tulisannya yang berjudul Bersumber Dari Pendangkalan, Gus Dur menulis:
“Harus kita
pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslimin tidak menggunakan
kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu bagaimanakah cara kaum
muslimin dapat mengadakan koreksi terhadap langkah-langkah yang salah, atau
melakukan “responsi yang benar” atas tantangan berat yang dihadapi? Jawabannya,
yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah,
kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat
sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas tantangan yang
dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah “agama kedamaian” bukannya “agama
kekerasan.”[16]
Dalam tulisan
ini Gus Dur seolah mengajak orang-orang untuk membuka wawasan berpikirya, untuk
berpikir lebih terbuka dan memahami adanya kelompok-kelompok lain di sekitar
kita. Bahwa memang sudah semestinya memahami secara menyeluruh bagaimaa
pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menjelaskan bahwa kita di
ciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya saling mengenal karena
sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang bertakwa.
Menurut Gus dur kalau ada orang yang tidak mengerti orang lain berarti dia
tidak mengerti Islam. Menurutnya dalam hal ini harus ada ketulusan.
Al-Qur’an juga mengungkapkan dalam
surat al-Kafirun dengan bahasa yang sederhana berbunyi lakum dinukum waliyadin, bagimu
agamamu dan bagiku agamku. Ini merupakan pengakuan tiap agama boleh hidup dan
saling menghormati dan saling bersanding untuk memecahkan masalah ummat. Tujuan
hidup beragama Gus Dur adalah untuk membangun kehidupan yang baik dan
berdasarkan asas-asas universal dimana ummat manusia bisa hidup bersama dan
membangun tata kehidupan kenegaraan yang egaliter dan tidak ada diskriminasi.
Dalam tulisan yang lain, Gus Dur
menyinggung perihal perdamaian:
Perdamaian,
dalam Hadiah Nobel, mengandung arti menghindarkan, melerai, mengurangi atau
menyelesaikan konflik. Konfliknyapun tidak dibatasi, baik terorisme bersenjata
di Irlandia Utara maupun pertentangan politik seperti sengketa Arab-Israel.
Tidak heran kalau dari pejuang palang merah sampai pejabat pemertintah dapat
meraih penghargaan itu (Sadat dan Begin, misalnya). Juga pejuang kemanusiaan
dalam arti umum seperti Albert Schweitzer yang bergulat dengan penyakit Lepra
di Afrika Hitam, atau suster Marie Therese yang mengurusi kaum melarat di
Calcutta, India.[17]
Atau
pada tulisan yang lain Gus Dur mengungkapkan pentingnya memberikan keterangan kepada masyarakat Indonesia, bahwa dalam
perkembangannya. Islam mendasarkan diri kepada proses penafsiran kembali, dan
tidak merujuk kepada perlawanan keras (apalagi fisik) kepada proses
modernisasi.[18]
Pada
konteks inilah kita dapat melihat berbagai konteks keterbukaan, liberal, dan
plural dari Gus Dur. Telah ada banyak tindakannya yang menuai kontroversi terkait
perdamaian dan toleransi. Salah satuya:Kebijakannya untuk
mengganti nama Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua pada tahun 2000 dan
menyebut orang Irian sebagai orang Papua, misalnya, menimbulkan kontroversi
politik.Apalagi ketika Gus Dur,dengan keberanian yang luar biasa,bukan hanya
memberi izin,melainkan juga memberi bantuan dana bagi tokoh-tokoh masyarakat
Papua untuk menggelar Kongres Nasional Rakyat Papua II pada Maret 2000. Kongres
itu kemudian menetapkan berdirinya Presidium Dewan Papua yang dipimpin oleh dua
tokoh Papua,Theys Hiyo Eluay asal Sentani dan Tom Beanal asal Pegunungan
Tengah.
Tak cuma itu, Gus Dur
bahkan memperbolehkan berkibarnya bendera Bintang Kejora sebagai simbol adat
Papua bersama Sangsaka Merah Putih sebagai bendera negara. Bahkan lagu Hai
Tanahku Papua pun boleh didendangkan setelah lagu kebangsaan Indonesia Raya.Apa
yang dilakukan Gus Dur ini mirip dengan kebijakan Residen Belanda di Hollandia,
J P van Echoud yang memperbolehkan tokoh Papua menggelar Kongres Nasional Papua
I pada Oktober 1961 dan mengizinkan berkibarnya bendera Bintang Kejora
setingkat di bawah bendera Merah Putih Biru serta didendangkannya Hai Tanahku
Papua setelah lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus pada 1 Desember 1961.Kebijakan
yang amat akomodatif itu menimbulkan kedamaian di tanah Papua meski hanya
berusia seumur jagung.
Selain itu, Pada era
Gus Dur, kebudayaan Tionghoa diakui sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia.
Tak ada lagi dikotomi di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia mengenai
pilihan antara mengambil pendekatan asimilasi atau integrasi seperti pada era
Presiden Soekarno. Berbagai aksara China, yang pada era Presiden Soeharto amat
ditabukan kecuali untuk surat kabar Indonesia beraksara China, tidak mengalami
penghitaman kembali oleh Kejaksaan Agung. Pertunjukan barongsai yang dulu
dilarang, pada era Gus Dur juga diperbolehkan dan kelompok kesenian ini pun
tumbuh bak jamur di musim hujan.
Agama Konghucu juga
berkembang tanpa kekangan. Kebijakan untuk menghapus surat bukti
kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi orang Indonesia keturunan
Tionghoa juga mulai dirintis sejak era Gus Dur. Tak ada lagi sekat-sekat hukum
antara pribumi dan nonpribumi. Gus Dur juga melindungi kaum minoritas yang
menganut agama atau kepercayaan di luar kelompok aliran utama agama-agama
besar.
Dalam benak pikiran Gus
Dur, sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal
ataupun kepintaran pemikiran secara ilmiahtetapi merupakan persoalan hati,
persoalan perilaku.[19]Tindakan-tindakan
inilah yang mengantarkan Gus Dur untuk menerima penghargaan-penghargaan atas
perjuangannya atas masalah kemanusiaan. Beragam penghargaan yang ia terima
diantaranya The Indonesian Peoples National
Hero dari yayasan Anand Adram Ubud, Bali. “kiprah beliau yang menyebarkan
cinta kasih di dunia menjadi pertimbangan kami dalam memberikan penghargaan
ini,” kata ketua Yayasan Anand Adram, Wayan Sayoga, selasa 15 januari 2013.[20]
C. Pluralisme Gus Dur Sebagai Solusi Perdamaian Dan Toleransi
Pluralisme Gus Dur telah membentuk
menjadi sebuah tindakan nyata untuk membangun perdamaian dan toleransi.
Keterbukaan dan respons positif terhadap perbedaan inilah yang membedakan Gus
Dur dengan yang lainnya. Pemahaman pluralisme yang baik akan melahirkan sikap
terbuka dan toleran. sehingga tercipta gerak tidak sebatas teori.
Mengingat maraknya tindakan-tindakan
intoleran dan anti perdamaian di Indonesia, nampaknya hal itu dikarenakan memudarnya
semangat pluralisme dan kesadaran akan kehidupan bersama sebagaimana dipahami
oleh para agamawan muslim sebelumnya (dalam hal ini Gus Dur).
Senyatanya telah banyak upaya pemerintah
di negeri ini, begitu juga dengan aliansi-aliansi perdamaian yang mencoba menggalakkan
aksi-aksi perdamaian dan toleran dengan tujuan menciptakan masyarkat sejahtera.
Namun tampaknya hal ini tidak begitu membuahkan hasil. Sementara itu, paham
semangat pluralisme Gus Dur telah berhasil membongkar cara berpikir komunitas
NU (kaum muda) hingga pada penghormatan perihal keanekaragaman dan
kemanusiaan—pada waktu itu.
Telaah kembali terhadap pemikiran itu
perlu dilakukan oleh kaula muda guna memberikan sikap terbuka dan menjauhi
sektarianisme. Kesadaran-kesadaran seperti ini menjadi penting untuk dibangun
dan dikembangkan hari ini.
Pelayanan dan tindakan-tindakan Gus Dur
merupakan bagian implementasi keyakinan kepada Tuhan. Untuk memberikan
pelayanan-pelayanan yang baik dan tindakan-tindakan baik, Gus Dur tidak perlu
melihat nama agama orang lain. Gus Dur tidka henti-hentinya menegaskan bahwa
kemanusiaan mesti mendapatkan tempat yang istimewa dalam kehidupan, apapun
agama yang dianut.
Pemikiran-pemikiran seperti ini adalah
buah dari pemahaman tentang agama yang sempurna dan spiritual yang utuh
sebagaimana telah kami petakan pada pembahasan sebelumnya. Spiritual-humanis
Gus Dur membentuknya menjadi seorang tokoh yang mencintai perdamaian dan
toleransi.
Pluralisme dan pemahaman terbuka terhadap
pluralitas pada akhirnya akan melahirkan
tindakan dan sikap perduli serta menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.
Sebagaimana telah kita lihat dalam diri Gus Dur.
Spiritualis-humanis
dan pemahaman humanitarisme Islam Gus Dur telah mempengaruhi jiwa pluralismenyahingga
kemudian menjadikan Gus Dur sosok yang memahami konsep perdamaian dan toleransi
secara utuh. Dengan demikian perlu kiranya mempertimbangkan kembali
pluralismenya untuk membangun dan menciptakan perdamaian di negeri ini.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan di atas dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut, Pertama, Kenyataan bahwa Indonesia
senantiasa bersikap reseptif terhadap ide-ide asing dan ramah terhadap
peradaban asing, membuatnya memiliki pola religius yang unik. Seperti kita
tahu, Islam bukanlah merupakan agama pertama yang masuk dan berkembang subur di
wilayah ini. Hinduisme dan Buddhisme terjalin erat dalam perkembangan
kerajaan-kerajaan awal di negeri ini. Maka kondisi yang demikian menuntut
lahirnya pluralisme paham keagamaan. Suatu keniscayaan yang secara pasti lahir
di saat pluralitas agama, kultur, ras, hidup dalam satu lingkup yang
sama.Menyadari akan potensi tersebut berkembang di Indonesia, Gus Dur
berpandangan bahwa humanitarianisme islamlah, menyangkut ajaran-ajaran Islam
tentang toleransi dan keharmonisan sosial, yang mendorong seorang muslim tidak
seharusnya takut pada suasana plural yang ada di masyarakat modern.
Kedua, salah satu dari buah pikirannya adalah tentang
perdamaian dunia dan sikap saling menghormati antar bangsa, agama, dan sesama
manusia. Hal ini dapat dinilai melalui beberapa tulisan Gus Dur tentnag
perdamaian dan toleransi. Bahkan seberapa sering ia menghadiri konfrensi
perdamian di beberapa negara. Perdamaian dan toleransi adalah buah pemikiran
yang sangat universal. Pemikiran seperti ini hanya bisa didapatkan, jika kita
sudah bisa melepas sekat-sekat identitas yang ada dalam diri kita, baik itu
sekat agama, suku, ras, warna kulit, bangsa dan lainnya. Gus Dur berhasil
melepas semua sekat identitas tersebut. Ia memang manusia tanpa sekat. Bagi Gus
Dur, semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya. Dengan
pemikiran inilah, Gus Dur banyak mengabdikan hidupnya untuk manusia dan
kemanusiaan.
Ketiga, Pluralisme Gus Dur telah membentuk menjadi
sebuah tindakan nyata untuk membangun perdamaian dan toleransi. Keterbukaan dan
respon positif terhadap perbedaan inilah yang membedakan Gus Dur dengan yang
lainnya. Pemahaman pluralisme yang baik akan melahirkan sikap terbuka dan
toleran sehingga tercipta gerak tidak sebatas teori.
DAFTAR PUSTAKA
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia; Pemikiran
neo-moderenisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman
Wahid, Jakarta: Paramadian dan Pustaka Antara, 1999.
Damanhuri, "Mempertimbangkan
Kembali Pemikiran Gus Dur bagi Kontekstualisasi Ajaran Islam Di Indonesia",
dalam Jurnal Keislaman UII Millah Vol. III, No. 1, Agustus 2003.
Hasan, Abdul Wahid, Gus Dur; Mengarungi Jagat Spiritual Sang
Guru Bangsa, Yogyakarta: IRCiSoD,
2015.
Geertz, Clifford, The Religion of Java, Gelonce , III.: Free
Press, 1960.
Republika.co.id.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam
Beragama, Bandung; Mizan VII, 1999.
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia
& Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
...................., “Damai Dalam Pertentangan” dalam http://www.gusdur.net,
2011.
...................., Islamku, Islam anda, Islam Kita; Agama,
Masyarakat, Negara, Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Departemen Agama, Bandung: Hilal 2010.
[1] Abdurrahman Addkhil adalah nama kecil dari
nama populer K.H Abdurrahman Wahid yang
lahir pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang, anak pertama dari enam
bersaudara. Ia lahir dan besar dalam keluarga NU, jadi tidak mengherankan bila
pengetahuannya tentang NU sangat kental dan mendarah daging. Semasa kecil Gus
Dur banyak mengenyam pendidikan dalam model pesantren, mulai di Pondok yang
diasuh kakeknya sendiri, K.H Hasyim Asy’ari, Tebuireng Jombang hingga pondok
Krapyak yang diasuh oleh K.H Ali Maksum di Jogjakarta. Dalam perjalanan
pendidikannya Gus Dur juga pernah mengenyam pendidikan di Kairo Mesir kemudian
hijrah ke Baghdad. Perjalanan panjang dalam menempuh pendidikan membuatnya memiliki wawasan yang luas dalam
berbagai hal, mulai dari politik, ekonomi, pesantren, spiritualitas,
kepemimpinan, budaya, keislaman, demokrasi, pluralisme, dan lain-lain. Dalam
perjalanan hidupnya itulah ia banyak berkenalan dengan budaya Barat, ketika ia belajar bahasa Belanda pada Willhem
Buhl sekaligus memeperkenalkannya dengan musik klasik. Ia juga akrab dengan
metode-metode sosialime kiri yang diperolehnya ketika ia belajar bahasa Inggris
pada Rufi’ah sang Gerwani yang sering memberinya buku-buku seperti Das
kapitalnya Karl Marx, Romantisme Revulusionernya Lenin Vladimir
Ilych. Iapun akrab dengan tradisi Muhammadiyah. Untuk biografi lebih detailnya,
lihat, Greg Barton, Gagasan Islam Liberaldi Indonesia; Pemikiran
neo-moderenisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman
Wahid, (Jakarta: Paramadian dan Pustaka Antara, 1999).
[2] Abdul Wahid Hasan, Gus Dur; Mengarungi
Jagat Spiritual Sang Guru Bangsa, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2015), hal. 101.
[3] Istilah ini dipakai oleh Clifford Geertz
tentang varian Islam di Jawa yaitu; priyai, santri, dan abangan.’priyai’ di
sini berorientasi Jawa-Hindu, ‘santri’ berorientasi Islam, dan ‘abangan’
berorientasi animistik. Detailnya baca Clifford geertz, The Religion of
Java, (Gelonce , III.: Free Press, 1960).
[4] Abdul Wahid Hasan, Gus Dur., hal. 101.
[5] Ibid., hal.105
[6] Ibid, hal. 111
[7] Ibid. hal. 144
[8] Damanhuri, “Mempertimbangkan Kembali
Pemikiran GusDur bagi Kontekstualisasi Ajaran Islam di Indonesia” dalam Jurnal Keislaman UII Millah
Vol. III, No. 1, Agustus 2003.
[9] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan
Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan, The Wahid Institute, (Jakarta:
2007), hlm. 123
[10] Neo-Modernisme merupakan suatu gerakan para islamic
thinker di Indonesia berkisar tahun 1970-an. Gerakan ini merupakan respon
para agamawan muslim di Indonesia terhadap persoalan-persoalan sosial, telaah
rasional, serta merupakan kajian ulang secara kritis pada pemikiran-pemikiran
sebelumnya—yang terjadi pada waktu itu. Selain itu gerakan ini juga merupakan
pengembangan dari modernisme sebelumnya.
Kondisi sosio-kultural di Indonesia telah
melahirkan wawasan terbuka oleh para agamawan muslim. Pliuralismepun lahir
bersamaan dengan meluasnya gerakan pembaharuan Islam ini—yang merupakan gerakan
intelektual yang membawa misi suci yaitu memandu cita-cita leberal progresif
dengan keimanan shaleh—menjadi pemikiran khas muslim Indonesia termasuk di
dalamnya Gus Dur. Dalam hal ini Gus Dur memahami bahwa sektarianisme merupakan
ancaman serius bagi keharmonisan masyarakat Indonesia yang majemuk. Lebih jauh
lagi Gus Dur berhasil membongkar cara berpikir komunitas NU terhadap pluralisme
bahkan sampai pada titik penghormatan perihal keanekaragaman. Keterangan
mengenai pluralisme dan neo-modernisme ini dapat dilihat pada, Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia;
Pemikiran neo-moderenisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadian dan Pustaka Antara, 1999.
[11] Damanhuri, “Mempertimbangkan
Kembali Pemikiran Gus Dur bagi Kontekstualisasi Ajaran Islam Di Indonesia”,
dalam Jurnal Keislaman UII Millah Vol. III, No. 1, Agustus 2003.
[12] Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam
Beragama, (Bandung; Mizan VII, 1999), hal. 258
[13] Greg Barton, Gagasan Islam Liberaldi
Indonesia; Pemikiran neo-moderenisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib, dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadian dan Pustaka Antara, 1999),
hlm. 334.
[14] Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:
Penerbit Hilal, 2010), hlm. 406.
[15] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan
Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan, The Wahid Institute, (Jakarta:
2007), hlm. 287.
[16] Abdurrahman
Wahid, Islamku, Islam anda, Islam Kita; Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi,
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 302-303.
[17] Abdurrahman Wahid, “Damai dalam Pertentangan”
dalam http://www.gusdur.net yang
ditulisnya pada Jum’at 4 Maret 2011.
[18] Hal kelima yang harus dilakukan,
adalah memberikan informasi yang benar tentang jalannya sejarah Islam kepada
generasi muda kaum Muslimin sendiri. Kepada mereka tidak jemu-jemunya harus
diberikan keterangan, bahwa dalam perkembangannya, Islam mendasarkan diri
kepada proses penafsiran kembali, dan tidak merujuk kepada perlawanan keras
(apalagi fisik) kepada proses modernisasi. Sabda Nabi Muhammad Saw, umpamanya, “Sesungguhnya
aku akan membanggakan kalian di muka umat-umat lain pada hari kiamat”,
seharusnya maksud sabda itu bersifat kualitatif, bukannya kuantitatif seperti
yang banyak diartikan oleh mayoritas kaum Muslimin sekarang. Karenanya tidak
ada alasan untuk menolak gagasan keluarga berencana selama tidak menghilangkan
wewenang reproduktif yang ada di tangan Tuhan atas umat manusia, dengan
melaksanakan kontrasepsi yang tidak bertentangan dengan syari’ah. Untuk lebih
lengkapnya baca: Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama,
Masyarakat, Negara, Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006).
[19] Greg Barton, Gagasan Islam Liberaldi
Indonesia; Pemikiran neo-moderenisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib, dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadian dan Pustaka Antara, 1999),
hlm. 398
[20] Lihat, Republika.co.id.
Posting Komentar untuk " "