Sekali Lagi Kartini
foto: mediapublica.go
Isu tentang kesetaraan gender, gerakan feminisme, atau tentang hak-hak kaum perempuan sudah lama diangkat. Barangkali Eropa yang pertama kali memperkenalkan istilah ini. Sejak abad pencerahan, kaum perempuan mulai berani menuntut hak untuk juga bersaing duduk di panggung publik bersama siapa saja termasuk kaum lelaki.
Itu isu lama. Di Prancis juga sama, kebebasan juga
diteriak-teriakkan. Liberty, egality, dan fraternity. Intinya sama.
Kesetaraan hak tanpa ada diskriminasi. Tapi entah bagaimana penjelasan psikologisnya,
saya selalu merasa terharu dan tergugah ketika kaum perempuan bersuara atas
nama kemanusiaan dan kesejahteraan.
Seperti ada intuisi yang mempengaruhi saya untuk juga ‘ayo
bergerak’, atau apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mereka kaum ibu, kaum
yang sebenarnya rapuh, kaum yang seharusnya dilindungi, kaum yang lembut penuh
kasih.
Ketika bahkan mereka yang lembut pun bersuara, maka pasti
ada sesuatu yang mengusik ketenangan mereka. Pagi ini saya mendapat kiriman
link film dari seorang teman tentang perjuangan kaum perempuan melawan elit pemerintah,
politisi, investor, dan perusahaan.
Dari ladang, dapur, hingga jalanan, bahkan depan gedung pemerintahan
perempuan memperjuangkan kesejahteraan. Kenapa perempuan? Karena untuk
meminimalisir tindakan anarkis kepolisian dan aparat keamanan, jawab salah seorang.
Bersuara tanpa perlu bertikai, berjuang tanpa perlu perang, tidak perlu ada
perkelahian dan pertempuran. Bagi saya, mereka jauh lebih aktivis dari mereka
yang mengaku aktivis. Kalian boleh beda pendapat.
Kita tahu, di seluruh pelosok negeri, masyarakat pedesaan
berhadapan dengan perusahaan yang berusaha merampas tanah dan sumber daya alam.
Dalam beberapa kasus, perlawanan dipimpin kaum perempuan. Di antaranya, tidak
ingin ada pertikaian.
Sekalipun masyarakat konservatif menolak perempuan untuk
memiliki peran, tapi pada akhirnya kaum perempuan bergerak menembus batas
patriarkis dan memimpin sendiri gerakan-gerakan kelompok mereka sendiri.
Di Kendeng—hari ini saya mengenal 9 Kartini Kendeng melalui
film ini—masyarakat mengetahui rencana pembangunan PT. Semen Indonesia untuk
mendirikan pabrik dan menambang pegunungan mereka sekalipun perizinannya
dilakukan diam-diam oleh Gubernur Jawa Tengah sekitar tahun 2010 lalu. Setelah pembangunan
pabrik dimulai, sekitar seratus orang permpuan berdemo di lokasi. Selama beberapa
bulan mereka bertahan di lokasi sekalipun aparat keamanan berniat membubarkan.
Sukinah dan Bersama kawan-kawannya sekuat tenaga melawan
pabrik semen, tetapi kekuasaan menggunakan segala daya untuk menindas dan
merampas.
Selama hampir dua tahun mereka bertekat untuk meningkatkan
ekskalasi pergerakan. Sukinah dan 8 orang kawannya melakukan perjalanan ke Jakarta
dan menanam kaki di semen tepat di depan istana negara.
Tahun 2016 Perjuangan kaum perempuan menuai hasil,
pemerintah akhirnya mengumumkan bahwa izin lingkungan untuk proyek tersebut ilegal
dan harus dicabut. Tapi rupanya pembangunan tetap berlanjut bahkan sampai
selesai. Apalah daya masyarakat Kendeng sekalipun telah 6 tahun lamanya
berjuang melawan orang-orang pabrik yang bergandengan tangan dengan kaum politisi.
Begitu pula kisah ratusan kaum perempuan di Mollo, NTT. Mereka
meninggalkan rumah dan ladang untuk menduduki kawasan pegunungan membentengi wilayah
adat. Kembali melawan perusahaan. Kali ini perusahaan tambang. Mereka Kembali memperjuangkan
hak milik. Saya berpikir, barangkali ini alasan pemerintah untuk pembuatan
sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN), dengan tujuan
memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak sebidang
tanah, satuan rumah, atau hak lain yang terdaftar.
Aletta Baon adalah penggagas gerakan protes masyarakat Mollo.
Sekalipun ia tidak diberi kepercayaan untuk memangku adat seperti orang tuanya,
karena ia perempuan, tapi ia memimpin gerakan untuk melawan perusahaan tambang.
Katanya, kita harus belajar dari alam, bukan dari orang karena
orang bisa saja bohong.
Lain perempuan, tapi mengahdapi kekuatan yang sama, Eva Bande.
Seorang perempuan yang dianggap mengganngu keamanan bisnis kaum elit. Dia dari
Sulawesi Tengah. Perjuangannya mengorganisir para petani untuk melawan elit lokal
yang berusaha merebut hak petani untuk diubah menjadi perkebunan sawit. Pergerakannya
dimulai di desa kelahirannya Piondo. Ia perempuan dan ia didengar. Orang-orang
tertarik pada gagasannya. Kisahnya Bersama kaum petani melawan aparat
perusahaan sawit membuat Eva dan 24 orang lainnya ditangkap.
Sampai hari ini suara mereka hilang ditelan berbagai isu
yang barangkali sengaja diramaikan untuk meredam perjuangan kaum ibu. Dalam Tanah
Ibu Kami, dari The Gecko Project dan Mongabay, jurnalis Febriana Firdaus
menemui wanita yang telah bangkit untuk memimpin gerakan sosial menghadapi kekerasan,
hukuman penjara, dan penghakiman dari masyarakat konservatif saat mereka
berjuang untuk hak mereka.
Lalu apa kabar kita perempuan hari ini?
Keren ulasannya
BalasHapusTerimakasih, Pak.. ditunggu masukannya
HapusMantap, Pak
BalasHapusTerimakasih sudah berkenan membaca
Hapus