Saya Salah, Kamu Benar
Selama
sekolah, kita sering mendengar; “Ada pertanyaan?”—dari guru-guru kita.
Biasanya di akhir materi. Kalau ada, akan senang sekali dan si murid
mendapat predikat cerdas. Kalau tidak ada pertanyaan, akan diulang kembali minggu depan.
Model pendidikan kita terus
berkembang dan melesat ke arah soal-menyoal dan tanya-bertanya. Bahkan,
mahasiswa dituntut untuk berani bersuara, berani berbicara, dan berani
mengemukakan pendapat. Atas nama apa? Katanya, atas nama hak asasi dan harga
diri. Bahkan, aktivis organisasi kita juga harus provokatif dan punya kemampuan
dialek yang bagus.
Bagi
bangsa kita, bersuara atas nama hak asasi adalah sebagian dari demokrasi.
Memaksa kita untuk semakin menentukan sikap. Bersuara atau ditindas sisi
kemanusiannya. Kanan atau kiri. Melawan atau mati.
Ketika
pilihannya demikian, yang terjadi adalah: semakin berani bicara dan bersuara,
semakin susah diatur dia.
Dalam
konteks kehidupan lain, ternyata bertanya dan mempersoalkan tidak selamanya
dibutuhkan. Untuk santri, misalnya, ia dituntut untuk ta’dzim dan sami’na
waatho’na tanpa banyak bertanya dan banyak menyoal.
Tidak
hanya santri, demikian pula dengan TNI, Polisi, dan satuan keamanan lainnya. Dalam
pelaksanaan tugas-tugasnya, mereka tidak boleh banyak bertanya dan banyak
mendebat. Tidak boleh. Cukup
laksanakan perintah instruktur. Demikian hukumnya.
Demikian pula model pendidikan yang diterapkan Nabi Khidir kepada Nabi
Musa, yang selama menjadi murid, Nabi Musa dilarang terlalu banyak bertanya dan
mempersoalkan. Apalagi mendebat.
Pertanyaannya, dari manakah sistem
pendidikan hari ini yang sedang kita contek? sejarah akan menjawab “Bukan asli kita
(Indonesia)”. Model pendidikan yang ‘asli’ kita, tertutup dan terpimpin. Persis
model sorogan di pesantren. Pendidikan terpusat pada Kiai atau Ustadz yang
mengajar. Santri hanya perlu mendengarkan, mengerjakan, tanpa berani-berani
mempersoalkan.
Founder
Spirit dan Quantum Mas Bayu As-Shidiq, pernah menyampaikan materi luar biasa tentang model
pendidikan. Dia menyampaikannya dalam acara Peningkatan Mutu Guru
dalam Bimbingan Konseling Siswa di Annuqayah, Rabu 11/03 lalu. Dia
bilang, semua persoalan muncul dari pemahaman: ‘saya benar kamu salah’.
Semua dari hal yang paling kecil hingga persoalan yang mendunia terjadi
karena pemahaman semacam ini. Mulai dari sekadar cekcok, bentrok, sampai perang
dunia. Persoalan pribadi hingga antar negara. Perkelahian, pembunuhan,
sengketa, peperangan, konflik, semua-mua terjadi karena masing-masing merasa
benar dan orang lain yang salah.
Saya benar kamu salah dibentuk dan berkembang dari latihan-latihan kecil
menyoal dan mempertanyakan. Karena kebablasan, konsep ini pun menyasar yang
lebih tua, mengganggu konsep Nabi bahwa yang tua tetap harus dihormati. Afdhalul
ilmi ilmu al-hal, begitu Islam mengajarkan. Bahwa tatakrama tetap yang
paling penting.
Solusinya,
kata Mas Bayu, “Saya salah kamu benar. Ini akhlak Nabi”.
Dia lantas
memberi contoh, Nabi setiap hari mendapat serangan dari seorang kafir quraisy: diludahi, dilempar kotoran, dan batu-batuan. Tapi pertanyaan Nabi
yang muncul adalah ‘bagian mana dari sikap saya yang salah?’
Setiap
hari begitu, segala perbaikan sikap dilakukan atas dasar introspseksi. Jadilah suatu
hari orang yang biasa melempar batu dan kotoran tidak ada di tempatnya. Nabi pun
bertanya kepada orang lain, mereka menjawab, “Wah, dia sakit”.
Pergilah
Nabi ke rumah orang yang sakit itu, dan benar, dia sakit, didoakanlah si
pelempar batu dan kotoran itu. Dan alhamdulillah sembuh. Kemudian masuk
islamlah orang itu.
Ya itu kan Nabi. Benar, oleh karenanya beliau menjadi panutan dan patron
selaku insan ahsani taqwiim. Beliau ada memang untuk ditiru akhlak dan
kepribadiannya, bukan sekadar dikagumi kemuliaannya.
Jadi
yang benar siapa? saya atau kamu? saya, belum tentu. Kamu pun begitu. Maka benar
kata Mas Bayu, sebaiknya dimunculkan pemahaman baru: saya salah kamu benar. Wallahu
a’lam.
Saya suka
BalasHapusTerimakasih atas 'Suka'-nya
Hapus