Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PUTRI COKLAT DAN SANG PENYAIR

#Dongeng Putri Coklat Part 2
Putri coklat termenung dalam pelukan sang ibu. Ia berpikir keras apa itu penyair. Ia buru-buru menggelengkan kepala, berkata dalam hati: siapa pun dia, aku merasa telah menyukainya. Sang penyair..
Pipi sang putri bersemu merah karena malu an satu perasaan baru: karena telah dicium seorang pengeran tampan tanpa kuda dan pedang.
Hari-hari terus berlalu. Dan pengeran terus berkunjung ke desa tempat sang putri tinggal.
“Bicaralah, pangeran. Mengapa setiap hari kau diam saja?” tanya sang puti. Matanya mengerjap-ngerjap meminta penjelasan.
Pangeran terlihat kebingungan, ia tak tahu cara menjelaskan. Maka pangeran kembali hanya tersenyum.  
Di suatu hari yang lain, pangeran tak datang. Lama menunggu, pangeran tetap tak datang. Maka putri memilih berjalan-jalan sendiri bersama si putih. Sepanjang jalan yang basah, mawar berbisik sambil menunduk,
“Sungguh tak ada daya aku melihatnya,” katanya lemah pada mawar sebelahnya. Yang diberitahu diam saja tak menanggapi, karena memang benar begitu.
Angin sepoi sore hari mengelus-ngelus rambut puteri coklat yang pekat halus. Dewi-dewi barnagkalis edang berembuk memuji kecantikannya.
Putri hanya diam sepanjang  jalan. Hatinya bertanya-tanya kemana pangeran? Kemana? “Aku bahkan belum tahu namanya.” Katanya seperti sedang bercerita pada si Putih. Si Putih diam pura-pura tak mendengar. Mungkin sebenarnya ia tahu sesuatu tapi enggan mengungkapkannya.
“Tapi kenapa ia tak mau menyebutkan namanya, ya? Setiap kali kutanya pangeran hanya diam saja. Aah,, ini menjengkelkan bukan, putih?”
Tak ada yang menjawab. Derap langkah si Putih terdengar seperti irama. “Di mana sebenarnya pangeran itu tinggal? Tunggu sebentar, ia datang paling tiga kali seminggu. Berkunjung sebentar tanpa bicara apa-apa, tanpa sepatah kata. Lalu pergi tanpa kata juga.”
Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi kepala putri tapi tak ada juga yang menjawabnya. Dewa, angin, air, bunga, bahkan manusia-manusia di sekitar putri juga diam. Mereka tidak tahu.
Esoknya, pangeran tak  ada lagi. esoknya lagi juga tidak. Esok-esoknya lagi masih tak ada. Esok esok esoknya lagi masih tidak muncul dirinya. Putri mulai resah. Kemana pangeran? Kenapa ia tak datang? Sudahkah dia bosan berteman denganku? Adakah yang salah dengan sikapku? Atau pangeran sakit? Di mana aku harus mencarinya? Ah,, pangeran..
Rupanya putri mulai merindu.
***
Hari yang cerah, tanpa gerimis panas juga tak terlalu terik. Putri duduk terdiam memikirkan apa yang tak harus dipikirkannya. Kemana pangeran? Hatinya mulai kosong.
Dia yang datang tiba-tiba, datang tanpa pedang dan kuda, dia yang membuatku malu karena ciumannya, dia yang telah membuat sandalku ketinggalan karena terburu-buru, dia yang selalu kuharapkan kehadirannya, dia yang sekarang tak  ada, dia yang…
Tiba-tiba seekor burung merpati terbang merendah dan hinggap di bangku depan sang putri. Di kaki kanannya terdapat selembar daun diikat dengan tali berwarna keemasan. Buru-buru tangan kecil putri meraih daun itu, dibukanya tali pengikat perlahan lalu sebuah tulisan tampak jelas:
“Aku petualang yang mendekam di ruang ingin
Dan kau pengembara yang terbang di dunia mungkin
Di sela-sela nafasnya, kau berkata:
‘kunang-kunang bawa aku pulang’”

Belum sempat putri tersadar, burung merpati telah terbang mengangkasa. Kembali tinggallah ia bersama selembar daun. Dan setumpuk pertanyaan. Dugaan. Barangkali di sekitar sini ada pangeran.
Hari mulai gelap seekor kunang-kunang terbang mengendap-ngendap. Putri ingin menatapnya, ingin menangkapnya, lalu bertanya di mana pangeran. Di kejauhan, sang ibu telah memanggil-manggil putri untuk segera pulang. Putri coklat beranjak lalu melangkah pelan. Tertunduk dengan selembar daun di tangan. Tak ia perhatikan atau mungkin tak kelihatan bunga yang sedang menunduk, menunduk mengagumi.

*to be continued…

Posting Komentar untuk "PUTRI COKLAT DAN SANG PENYAIR"