PUTRI COKLAT DAN SANG PENYAIR
Baiklah, aku akan memulai ceritaku pagi ini, pagi yang
mendung. Entah dewa mana yang sedang tak suka mengumbar cahaya mentari dan
lembut awan kapas putih. Aku tak peduli. Hari ini hari libur dan aku ingin
bercerita pada anakku. Layaknya ibu-ibu lainnya: menceritakan dongeng cantik
pada putri kesayangannya:
“Seorang putri cantik
hidup bahagia di sebuah desa yang subur dan makmur. Segala tumbuhan ada, hijau
daun, pohon rindang sejuk menenangkan, bebuahan manis juga hewan-hewan kecil
tak cukup ramah tidak pula suka menyerang.
Bunga-bunga cantik utusan
para dewa: merah, kuning, biru, ungu, putih, marun, coklat, segala ada. tumbuh
beramai-ramai saling memadukan. Dan tampaklah sebuah desa kecil yang cantik.
Hujan, tanah, tanaman,
hewan, semua bahu membahu membangun keindahan. Dmeikian celoteh penduduk desa
saat bertemu dengan pemuka desa lain di seberang sungai. Semua membayangkan
keindahan dan kemakmuran. Terlebih membanyangkan si putri idaman.
Putri penyayang, manis
dan manja pula. Ia suka mengunjungi kebun, emlihat kuda-kuda, menangkap
kupu-kupu atau berkuda santai ke arah selatan sepanjang sungai.
Tak ada yang pernah tahu
isi hati sang putri. Putri pun tak tahu hati sekitarnya. Karena menurutnya ia
sama saja dengan mereka. Putri tak merasa bahwa dirinya tercantik dan selalu
jadi perbincangan. Putri pun tak mau memberi tahu siapa-siapa bahwa di dalam
hatinya ia sedang menunggui pangeran. Pangeran tampan berwibawa datang berkuda
dan sangat perkasa. Datang untuk menjemput putri. Dan semua itu hanya ada dalam
hayalannya.
Tak ada yang menandingi
kecantikan putri di desanya. Senyum menawannya membuat malu segala. Pagi hari,
putri menunggangi kuda putih kesayangannya, pelan berjalan di sepanjang taman.
Pemuda-pemuda desa berbisik pelan, mengunjingi sang putrid an gaun biru
kemudaan. Beberapa sibuk berhayal, betapa beruntung menjadi sang kuda,
pikirnya.
Kuda sang putri melangkah
melambat semakin membuat tertunduk malu bunga-bunga sepanjang jalan. Tak kuasa
menegakkan diri melihat kecantikan sang putri. Beberapa bahkan tertunduk lebih
dalam dan pucat melayu. Kalah manis dan kalah menawan dengan warna kulit, mata
dan bibir merah putri.
Barulah setelah putri
lewat, mereka meregangkan tangkai dan kelopak. Angina berembus menyadarkan
bunga-bunga yang layu, menggoyangkan bunga yang murung bersedih hati. Tak lama
setelahnya hujan turun menyegarkan kembali rupa mereka. Berdiri tegak menghadap
matahari lalu berkata pada para dewa: “wahai dewa bhatara surya, mengapa kami
diperlakukan begini memalukan? bukankah kami engkau titahkan turun ke bumi
menjadi yang tercantik? Lalu mengapa kami masih kalah cantik dengan manusia
itu?
Pada sang putri,
awan-awan tak berani mendekat. Tak tega melihatnya kehujanan dan rambut
indahnya jadilayu kedinginan. Si putri tetap maju bersama kudanya. Mengabaikan
segala yang terjadi di belakangnya. Karena memang ia tak tahu.”
Anakkku serius mendengarkan. Matanya mengerjap-ngerjap
tanda sedang benar-benar mencerna apa yang baru saja diterimanya. Maka aku mulai
kembali merasngkai-rangkai. Sebagai seornag ibu terpelajar, tak baik melulu
memberikan kisah-kisah dari buku. Aku harus menyaringnya sendiri dan mengarang
kisah sendiri. Baiklah, kulanjutkan:
“penduduk desa adalah
orang-orang yang ramah. Ramah sekali. Ramah pada orang lain, pada tamu, pada
tumbuhan, pda hewan, pada lingkungan, dan ramah pada alam. Itulah mengapa di
desa tersebut hewan-hewan tumbuh dengan baik dan tak mengamuk. Rumput dan
bebunga tumbuh dengan cantik, air mengalir bersih.
Pohon-pohon besar dan tua
dihormati. Penduduk percaya jika mereka, tumbuhan, dijahati maka mereka akan
mengamuk murka. Tak akan lagi memeberikan kesejukan dan pertolongan saat
matahari terik membakar.
Awan-awan seakan paham kapan mereka harus menghujani
tanaman, kapan harus membiarkan mereka menyerap panas matahari. Sungguh
kehidupan yang harmonis. Rupanya semua sedang berlomba memberikan peran terbaik
untuk melengkapi kecantikan diri dan kecantikan hidup sang putri. Entah mengapa
mereka begitu menyayangi sang putri yang cantik jelita itu.”
“siapa nama putri
itu, Mama?” ahirnya mulut si kecil di depanku ini terbuka juga dan aku harus
berpikir.
“namanya Putri Coklat,” si kecil cekikikan. Lalu kembali mendengarkan.
Sebagaimana diimpikan sang putri, suatu hari datang
seorang pangeran tampan, gagah, perkasa. Tapi ia tak berkuda. Karenamemangs ang
pangeran tak bisa berkuda. Jangankan berkuda, melihat kuda saja pangeran
bergidik.
Si kecil tertawa.
Barangkali karena ia biasa medengar pangeran ahli berkuda. “Kok pangerannya takut
kuda, Ma?” di sela tawanya. Tangan kecilnya tiba-tiba menutup mulut yang mungil
tapi cukup lantang itu.
“Pangeran bukan
takut, tapi karena tak biasa saja.” Selorohku.
“Putri coklat tersenyum melihat pangeran. Pangeran
yang datang tanpa kuda dan tanpa pedang di pinggangnya. Malah dengan dokar
sewaan milik pak kusir dekat pasar. Tapi ditangannya tergenggam sebatang pena
dan kertas.
Diajaknya pangeran tanpa kuda dan pedang itu
berkeliling desa yag indah. Pangeran tak banyak bicara, ia sedang mengagumi
kecantikan sang putri. Menatapnya lembut. Menatap putri yang sedang riang dan
semangat menjelaskan berbagai bunga dan tumbuhan yang sebenarnya pangeran sudah
tahu namanya. Tapi pangeran memilih diam.”
“Kok putri tidak
membawa pangeran ke kandang kuda, Ma? Kan biar kenal.”
Putri manrik tanganpageran riang. Ia bermaksud membawa
pangeran ke kandang kuda dan memperkenalkan pangeran pada teman-temannya. Kuda
putih, merah, hitam, coklat, kuning, biru, jambu, kelabu. Seekorpun tak ada
yang belang.
“Kik..kik..kik..”
si kecil menahan tawanya. “Ada kuda biru dan jambu rupanya,” katanya pada diri
sendiri.
“Sang putri semangat memperkenalkan satu persatu. Ia
tampak berbisik pada seekor kuda putih kesayangannya. Entah apa yang mereka
bicarakan, pangeran tak paham. Putri membelai bulu suri kuda putih. Dan kembali
kuda itu meringkik menanggapi. Pangeran tetap diam menatap putri lembut.
Putri menghampiri kuda yang lain. Diarangkulnya leher
binatang itu dan berbisik: “Sore ini kita
tak kan berjalan-jalan,” Putri melirik pangeran, “Sedang ada tamu”.
Kembali si kuda meringkik menanggapi. Dalam hati, pangeran terheran-heran
melihat putri cantik yang begitu akrab dengan binatang. Bahkan bercakap-cakap.”
Tiba-tiba si kecil
bertepuk tangan, “putri coklat hebat ya, mama” katanya bangkit dari tempat
duduknya. Pindah menggelayutkan tangan kecilnya di leherku lalu duduk di
pangkuanku.
“Terus, terus,
gimana, Ma?”
Aku kembali
merangkai-rangkai,
“Rupanya sang putri segera jatuh cinta pada pangeran.
Tidak bisa lain. Saat tiba di kuda yang paling ujung tiba-tiba pageran mencium
sang putri. Seketika itu putri terdiam. Entah apa diikirkannya. Wajahnya
memucat. Ia memang menunggu pangeran tapi putri tak pernah berpikir akan
diciumnya. Ia menuggu pangeran, bukan ciumannya.
Pangeran sendiri salah tingkah. Hal bodoh apa yang
baru saja dilakukannya. Sekarang ia harus apa. Ia tak tahu. Sepertinya putri
tak menyukai tindakan pangeran.
Tiba-tiba putri berlari menjauh. Tanpa menoleh. Tanpa
menggubris panggilan pengeran. Putri terus berlari tertunduk. Putri terlalu
terburu-buru, hingga tertinggal sandalnya.
Putri berlari memasuki rumahnya dan menemui sang ibu.
Memeluk erat sang ibu. Lalu mengadu bahwa ada seseorang yang telah menciumnya.
Sang ibu tersenyum membelai rambut putrinya.
“Pangeran seperti apa itu putri?”
“Ia datang tanpa berkuda, karena memang tak bisa
berkuda. Tak membawa pedang. Katanya dia datang bukan untuk berperang.” Sang
ibu tersenyum lembut melihat reaksi putri kesayangannya.
“ia hanya datang dan diam saja, Ibu. Dia membawa
pensil dan selembar kertas. Bukan pedang.” Sang putri menenggelamkan wajahnya
dalam pelukan ibu.
“Dia penyair, putri. Pangeranmu itu penyair.”
“Apa itu penyair,
mama?” tanya si kecil. Ahirnya pagi ini perbendaharaan pengetahuannya bertambah
satu lagi.
To
be continued...
Posting Komentar untuk "PUTRI COKLAT DAN SANG PENYAIR"