Pelintiran Kebencian dan Politik Indonesia
Seumpama tokoh sengkuni
dalam kisah Mahabarata, sulit orang percaya padanya karena ia menipu, menghasut
dan membohongi. Demikian pula kiranya politik dalam pandangan masyarakat umum.
Najwa Shihab pernah menyampaikan dalam acaranya, politik dijauhi sebagian besar
orang. Bahkan ibu-ibu melarang anak-anaknya dekat-dekat dengan segala berbau
politik. Betapapun politik ini berusaha dibahas dengan baik, dijelaskan duduk
perkaranya, maka tetap saja ia menakutkan dan menyeramkan. Setidaknya ini
gambaran paling umum.
Hari ini kita kembali
dihadapkan pada suasana jelang pemilu yang gema dan dampaknya mempengaruhi
seantero negeri. Dalam diskusinya, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) 2017
kemarin membenarkan tesis Cherian George tentang suasana sosial
dan politik di Indonesia. Hasilnya dapat menjadi cermin bagaimana kiranya
pola-pola dalam pertarungan pemilu yang digunakan para makelar politik untuk
memenangkan pertarungannya.
Pola-pola yang sama
telah dikenali dan akan menjadi serangkaian peristiwa yang sama saja pada
ahirnya. Sekalipun dikemas dengan cara-cara yang berbeda. Peristiwa dalam
pemilu dan pilkada Jakarta memberikan keterangan tambahan mengenai apa yang
disampaikan Geore itu dalam bukunya.
Pelintiran Kebencian
Polanya adalah bahwa
dalam setiap pemilu selalu ada yang namanya pelintiran kebencian. Dalam bahasa
George ini adalah alat strategis yang digunakan para makelar politik untuk
memenangkan pertarungan politik dengan cara-cara yang membahayakan demokrasi.
Selain Amerika Serikat dan India, Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi
yang dijadikan bahan studi kasus. Kiranya tahun ini pun strategi ini terlihat
mewarnai suasana jelang pemilu 2019.
Pelintiran kebencian
itu sendiri adalah penghinaan dan ketersinggungan yang sengaja diciptakan dan
digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan
lawan, (Cherian George, 2017). Hematnya, sebenarnya ini adalah hasutan berupa
manipulasi ketersinggungan untuk mempengaruhi orang-orang atau masyarakat.
Kelompok yang satu
menyerang kelompok lain bersama timnya untuk menyebarkan berita
sebanyak-banyaknya, gerakan massif memberitakan apapun tanpa perduli benar atau
tidaknya agar didapat kepercayaan umum tentang identitas lawan yang telah
dieksploitasi itu. Kebohongan yang diucapkan berulang-ulang pada akhirnya akan
diakui benar juga, kata Hitler.
Di luar itu semua,
kebebesan berdemokrasi berkembang menggelisahkan ketika politik kebebasan berkspresi
telah tereksploitasi sedemikian rupa hingga aksi-aksi kolektifnya justru tidak
pro demokrasi.
Keterlibatan Agama
Senjata paling ampuh
dalam memunculkan ketersinggungan adalah yang bernuansa agama. Antara Amerika
Serikat, India dan Indonesia polanya sama. Baik ketersinggungan itu pada
akhirnya dijadikan sebagai serangan langsung pada lawan politiknya atau sebagai
bahan kampanye keberhasilan program sang
calon dalam memasuki kancah politik nasional.
Agama di sini tentu
tidak dengan sendirinya melibatkan diri, tetapi bahwa ia dimunculkan sebagai
serangan untuk memantik ketersinggungan adalah sebagaimana disaksikan bersama.
Ini kemudian memudarkan esensi demokrasi yang disuarakan sendiri.
Indonesia sendiri semenjak
jatuhnya rezim Soeharto pada 1998, dinilai bahwa skor hak-hak politiknya telah
meningkat dari skor tujuh (skor paling buruk) ke dua. Indonesia telah mengalami
demokratisasi yang sangat pesat menurut indeks Freedom House. Namun demikian
plintiran kebencian bernuansa agama masih kerap dijumpai bahkan sampai
gerakan-gerakan dan rumusan-rumusan hukum berbau toleransi dalam beragama mulai
menggeliat.
Sebagaian besar
masyarakat belum berkemampuan untuk menyaring informasi-informasi dan
maenganalisis sendiri maksud dari berita-berita yang berdar. Mereka menerima
dan menelannya begitu saja. Mudah saja mereka terhasut, apalagi membawa
identitas seseorang sebagai pelengkap provokasi. Di sampingitu, mereka
terlanjur tidak percaya pada segala berbau politik dan tetek bengeknya.
Barangkali, yang menguntungkan sesaat itu juga yang jadi pilihan akhir
mempertahankan kehidupan mereka sendiri.
Posting Komentar untuk "Pelintiran Kebencian dan Politik Indonesia"