November yang Lalu
19.00
Aku
duduk di kursi belakang. Yang lain telah terlelap pulas sekalipun tak di
ranjang. Barangkali karena lelah, tak kuhiraukan handphone yang tetiba
terang. Kulirik, satu pesan muncul dari makhluk yang sebenarnya telah lama
hilang.
“Berhati-hatilah, usahakan kembali ke rumah dalam
keadaan gembira, Sayang” katanya.
“Bagaimana pula
bergembira, sedang kau sumber segala derita.”
“Engkau bisa saja menganggap bahwa aku sumber
derita; tapi ketahuilah bahwa hati ini tetap saja terpelihara dengan bijak
untukmu, Perempuan.”
“Perempuan nun jauh di sana. Itu bukan aku, Rama.”
“Pokoknya gitu lah, engkau menafsirkan segala bentuk
perempuan itu siapa saja. Tak masalah. Yang penting bagiku, itu adalah dirimu.”
“Kalau itu aku,
tentu tak ada cemburu. Tapi aku ragu. Katamu palsu!”
19.45
Di
sampingku Layla tertidur lelap sekali. Aku beringsut duduk tegak hati-hati. Pelan
sekalipun sebenarnya aku mulai emosi. Makhluk itu masih mengirimiku pesan lagi.
“Aku memang mengharapkan engkau
ragu seragu-ragu mungkin, karena bagiku untuk menjadi yakin itu adalah harus
melalui keragu-raguan.”
“Kala-kala waktu-waktu
ragu-ragu rindu-rindu, perempuan itu tetap bukan aku.”
“Amat sulit meyakinkan bahwa itu memang benar-benar dirimu
sebab engkau tak kunjung menemuiku sejauh ini.”
“Hidup macam apa itu? Aku menemuimu? Sementara kau
pergi sejauh-jauhnya dan berjanji tak akan kembali. Aku tahu kita memang tidak
untuk bersatu. Pergilah sejauh kau suka dan lupakan kita.”
20.00
Ala mendengkur
keras di depanku. Cukup mengganggu. Tapi bagaimanalah, hati dan pikiranku masih
sibuk menjawab pesan-pesan makhluk satu itu.
“Padahal beberapa waktu itu aku akan menemuimu
kembali, tapi eh, malah kau lari.”
“Jangan balik menyerang. Cukup sudah bermain-main!”
“Namun waktu itu caranya sedikit berbeda. Sebab
bukan aku sendiri yang akan meng-utuhkan pertemuan itu, melainkan; ....”
“Melainkan anganmu saja. Makan itu angan! Aku tak
butuh.”
“Baiklaah, sepertinya memang tidak ada yang perlu
kita perdebatkan.”
”Biar
kutegaskan. Semua telah usai bahkan sebelum semua cerita dimulai.”
20.30
Bukankah aku tak salah kalau
aku marah? Empat tahun bukan waktu sebentar untuk aku mengaku benar-benar
kalah. Makhluk yang datang tiba-tiba lalu pergi dengan alasan paling pengecut
di dunia, jelas dia yang salah.
“Beberapa tahun lalu; sebenarnya aku akan
menemuimu kembali dan memastikan semuanya akan baik-baik saja, hal yang
menurutku akan sakral nantinya. Namun
saat berita itu sampai kepadamu tiba-tiba engkau mematahkannya. Mungkin karena
dendam amat dahsyat hingga semuanya tak beraturan.”
“Dan memang benar, aku belum lupa semuanya. Lalu dengan mudahnya kamu
bilang akan memastikan semuanya akan baik-baik saja setelah kamu pergi begitu
saja? Memang perasaan itu apa? Itu mungkin pertama
kalinya aku merasa benci tak jelas sebab hubungan yang saya
kira akan indah.”
“Ahh sudahlah. Kita lanjut di episode selanjutnya.”
“Selesaikan! Aku ingin semua ini
selesai dan jangan muncul lagi suatu hari nanti.”
“Kisah sebelum-sebelumnya memang aku yang memulai
dan aku juga yang mengahirinya. Maaf.”
“Lalu menurutmu pernyataanmu itu tak butuh
penjelasan? Bahkan bahasamu ingin memastikan semuanya baik-baik saja, apa pula
itu? mengahiri lalu memastikan –yang kau tinggal pergi—akan baik-baik saja?”
“Baiklaaaah, aku mengaku salah. Maafkan.”
“Apa pula ini? Kurang ajar!”
“Ayo lepaskan semua amarahmu selagi malam belum
larut.”
Aku terengah menahan amarah yang memuncak. Menghempaskannya,
memejamkan mata, meredam, lalu teridur.
***
21.45
Di luar hujan. Kulihat
sebentar, perjalanan menuju Solo, dan makhluk itu kukira masih di tempatnya
semula. Bertahan.
“Lalu?” kata kataku.
“Kemudian teriaklah biar semua orang tau kekesalanmu.”
“Pamer. Aku tak butuh orang tau. Aku butuh
penjelasanmu!”
22.00
Aku
mencoba menahan diri dengan pembahasan yang tak jelas kemana ujungnya. Apa
sebenarnya mauku dan apa pula maunya?
“Ngopi dulu yuk.”
“Ngulur waktu.”
“Dari sisi apa yang harus aku jelaskan?”
“Kenapa memulai? Kenapa mengakhiri sendiri? Kenapa
tiba-tiba pergi tanpa ada penjelasan apa-apa?”
“Aku
memulai karena kuanggap akan menjadi sesuatu yang menarik nantinya,
dan asal kau tau; aku pergi bukan maksud meregas segala rasa darimu. Dan
kepergianku bukan tanpa alasan. Sejak itu, karena banyak yang tau hubunganku
dan kau seperti apa, jadi perlahan aku menjauh sebab saat itu menurutku belum
waktunya untuk melangkah lebih jauh lagi.
Dan aku beranggapan suatu saat akan akan tiba pada
waktu yang tepat untuk membicarakan yang lebih serius lagi. Tapi pada saat tiba
di mana untuk membicarakan lebih serius, malah di luar
dugaanku..”
“Baik. Cukup. Semua selesai.”
Tak kuhiraukan lagi sekitar.
Biar di luar hujan dan guntur menggelegar. Aku hanya ingin terlelap tenang dan
melupakan segala gejolak yang kembali muncul. Mengapa pula hati ini mesti
begini bergetar.
Surabaya-Jogjakarta, 19
November 2018 11:15 AM
dimuat di Harian Kabar, edisi 25 Januari 2019
Posting Komentar untuk "November yang Lalu"