DIAM
Kabar Sastra, edisi 14 Januari 2018
Layla duduk menatap Abangnya. Siang begitu terasa panasnya. Tapi demi sebuah cerita, Layla rela berangkat jauh dari desa ke kota. Menemui Abang yang tak pulang bertahun lamanya. Lekat Layla menatap wajah, mata, dan tubuh kurusnya.
Sekitar mata Abang melingkar hitam, cekung
bawah matanya seperti menyimpan kepedihan yang dalam. Jelas ia menyembunyikan kenangan kelam,
hingga harus tak tidur sepanjang malam. Memikirkan takdir demikian kejam.
Layla
hanya diam.
“Ini, makan lagi.” kata Abang basa
–basi.
Layla tak peduli, ia hanya ingin
tahu seberapa dalam Abangnya merasakan sepi. Lalu dengan hati-hati mengajaknya
berhenti hidup di kota seorang diri.
Memikirkannya tiba-tiba Layla
menghembuskan napas keras. Barangkali ia juga ingin melepas. Kekhawatiran, harapan
dan kebahagiaan yang tak tuntas.
Layla mulai bertanya ada apa? Tapi Abang
menepisnya dan tetap menghindar juga.
Layla
terdiam.
Masjid yang menghadap ke pasar itu
ramai sekali. Semua penjual meneriaki pembeli. Es cendol, pentol dan gulali.
Tapi Layla tak peduli, pikirannya menari pergi, menelanjangi ingatan masa kecil
dulu. Besama Abang ayah dan ibu. Aku yang
selalu dianggapnya si bungsu.
***
Tanpa sadar aku mulai menghitung
waktu. Mengabaikan perempuan yang duduk tepat di hadapanku. Telah
bertahun-tahun yang lalu dalam ingatan membeku. Pada orang tua bukan tak rindu,
tapi aku benar-benar ingin lupa semua kenangan itu.
Aku yang didekap erat. Ibu menunduk,
wajahku pada dadanya dekat. Menahan nafas menahan perih, aku tak benar-benar tahu apa itu, yang ku tahu
napas ibu menderu antara takut dan ragu. Kami bersembunyi di bawah kolong
ranjang yang tak lebih luas dari bangku. Gelap aku menatap, bingung tak
terungkap, takut juga kudekap.
Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg.
Deg
Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg.
Deg. Deg. Deg. Deg. Deg.
Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg.
Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg.
Jantung Ibu kudengar semakin
berdetak cepat.
Suara langkah cepat-cepat dan rapat.
GEBRAK...
CENTING...
Sesuatu terpelanting. Kepalaku mulai
pening karena posisiku nungging. Ibu semakin mendekapku seperti ingin
menyampaikan sesuatu, atau menghiburku agar pura-pura saja aku tuli dan tak
tahu. Sayup-sayup kudengar suara bapak seperti sedang berburu. Aku mendengarnya
dan aku mengenali suara beratnya.
Bapak kalap. Dari mulutnya kata-kata
kasar terucap. Segala yang menjijikkan, binatang dan umpatan-umpatan menguap.
Ini bukan pahit pertama yang kami cecap.
Aku membayangkan matanya mendelik,
segala yang menghalangi langkahnya ia hardik. Tinggi dan kasar suaranya
berteriak, barangkali sebenarnya para tetangga itu muak, bahkan saat ini aku
dan ibu bersembunyi di rumah perempuan tua yang sering ku panggil emak.
“Mole.
Mayu mole. Hey keluar kalian!” teriak bapak sambil berlari-lari
memasuki kamar-kamar mencari kami, sang anak dan istri.
Bapak
berteriak kalap memegang celurit. Menebas apa saja yang menghalangi dengan
arit. Dan bagiku ingatan ini terlalu pahit. Terlalu sulit. Saat aku mulai
menanggung berbagai penyakit. Saat keuangan semakin sulit. Saat berbagai
penyakitku mulai kumat. Sekarat. Mendengar orang tua tak pernah mufakat. Ibu
yang berlari-lari nekat. Bapak yang mengejar-ngejar saat sedikit saja aku dan
ibu berbuat salah, barangkali ia ingin salah satu umur kami segera tamat.
Aku
tak pernah tahu. Saat ibu membawaku berlari sepanjang sawah sambil mendekapku.
Saat tubuh ibu terpelanting membentur batu. Menghindari bapak yang mengamuk
tanpa alasan yang aku tahu. Semua itu beku dalam ingatanku. Sampai hari ini
ingatan itu masih mengerikan. padahal kejadiannya sudah lalu, saat umurku masih
lima tahunan. Setiap hari mendengar pertengkaran. Setiap hari menyaksikan
pukulan. Setiap hari menjadi korban kekerasan.
Dia semakin parah, pernah sekali waktu rambut ibu kasar ia jamah. Padahal ibu tak salah. Hanya
karena ibu mulai menerima kakak perempuanku bersama suaminya, sebagaimana pesan
si mbah. Katanya jangan sekali-kali membuat tulah. Padahal bagi seorang laki-laki janji
adalah janji. Jika tak ditepati akan ia tagih sampai mati. Janji adalah
kehormatan. Karena ibu merestui pernikahan tak sebegaimana direncanakan, bapak
merasa harga dirinya terendahkan. Bapak merasa sebagai suami kata-katanya tak
diindahkan.
Kakak perempuanku itu yang menyulut
semua amarah, bersama suami yang baru dinikahinya itu ia nekat bertingkah. Mulanya calon
suaminya itu berjanji akan menikahi saat sudah lulus sekolah. Lalu pada
pertengahan pelajaran, ia membelok arah dan segera membawa lari kakak
perempuanku menikah.
Kakak perempuanku merasa tetap harus
mendapat restu. Didatangilah bapak dan ibu. Atas saran mbah, ibu memberi restu
tapi bapak tak bisa juga berbuat begitu. Bagi bapak janji adalah janji, siapa
berani mengingkari maka ia harus menanggungnya bahkan sampai mati. Tak
digubrisnya tangisan kakak. Tak dihiraukannya saran saudara dan sanak. Baginya
niat menyekolahkan kakak begitu mulia, mengapa harus dirusak dengan pernikahan
oleh lelaki tak beretika.
Silakan semua rencana dijalankan bukan
dengan restunya. Silakan gelar pernikahan tanpa kehadirannya. Silakan lakukan
semua tanpa campur tangannya. Bapak tak mau tahu itu. Ibu pun sepertinya tak
kuasa menanggung malu. Di hari yang seharusnya bahagia, ibu justru tersedu. Memikirkan
keluarganya, keluarga putrinya hancur dan runtuh seperti itu. Aku memahami ibu.
Ia kasihan pada kakak perempuanku yang terlanjur memilih jalan keliru. Suaminya
sendiri tak memberi restu. Jadi tak ada kebahagiaan yang padu.
Tak
ada yang benar-benar tahu apa yang aku rasa. Segala kepedihan masa lalu ingin
kulupa, lalu hari ini datang Layla bertanya ada apa? Siapa pula yang
menyuruhnya?
***
Layla mengerjap ngerjapkan matanya.
Tak ingin ada satu butirpun air yang menetes di depan Abangnya. Layla baru saja
akan memulai, jangan sampai merusak suasana. Masjid
yang menatap pasar itu masih juga. Dan imaji tentang Abang yang sedang menahan
luka.
Layla memilih diam.
Kampus, 02
Desember 2018 10:41 AM
Posting Komentar untuk "DIAM"