Apa Kabar, Pak Pos?
Suatu pagi menjelang siang, bapak separuh
baya berseragam oranye berdiri di depan rumah saya. Ia menggenggam sesuatu di
tangannya.
“Assalamualaikum,” serunya. Tak ada
jawaban. Ia ulangi sekali lagi, masih tak ada jawaban. Sebentar ia menoleh pada
sepedanya yang juga berwarna oranye dan kantong besar berwarna hijau ketuaan di
kedua sisi belakang sepeda.
Kembali ia uluk salam dan masih tak ada
jawaban. Mulai putus asa, air mukanya berubah sedikit kecewa.
Tiba-tiba tetangga saya sebelah rumah
menjawab sambil tergopoh keluar, “Waalaikum salam, butuh sama siapa ya?”
katanya dalam bahasa Madura.
“Butuh sama Ibu Lailatul Qamriyah. Ini ada
kiriman dari Jogja.” Kata si bapak pengantar surat. Ramah. Berbahasa Indonesia
baik. Ibu tetangga yang juga setengah baya itu berpikir sejenak. Melihat orang
berseragam tentu ini orang penting, pikirnya barang kali. Apa pula? Perlu apa
sama si Ella? Beberapa detik saja, setelahnya ibu tetangga memangil-manggil ibu
saya. Katanya,
“Dik, ini ada tamu buat Ella dari Jogja.
Mari sini.”
Si bapak mengulang maksud kedatangannya
lalu disodorkan barang yang dipegangnya pada Ibu, lalu selembar kertas tanda
bukti terima.
Ibu masih belum mengerti. Tapi beliau tau
bapak-bapak ini tukang pos. Tapi apa kiriman untuk putrinya? Dari siapa? Kok
jauh dari Jogja.
Siang hari sepulang sekolah, Ibu saya yang
baik memberikan kiriman yang sudah dirobeknya. Rupanya isinya hanya buku dan
selembar surat. Mulailah ibu bercerita kronologinya. Dan saya tertawa membayangkan
kejadiannya.
***
Beberapa hari kemudian, Pak Pos itu datang
lagi. Kali itu saya di rumah.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikum salam.” Jawab Ibu.
“Butuh sama Ibu Lailatul Qamariyah,”
katanya.
Dipanggillah saya, lalu saya pun keluar
dengan masih mengenakan mukena. Karena memang habis sholat.
“Iya, Bapak.” Kata saya sok ramah.
“Butuh sama Ibu Lailatul Qamariyah,”
ulangnya.
“Saya, Pak.”
“Lha kok anak kecil.” Katanya sambil
menyodorkan kertas dan pulpen. Umur saya saat itu baru 17 tahun. Dan benar, di
penulisan penerima barang tertera: Yth. Ibu Lailatul Qamariyah. Saya tak suka.
Tapi siapa peduli.
Berawal saya dan Pak Pos
berkenalan. Tapi saya sendiri tak tahu—bahkan hingga kini—pada namanya. Hingga
kiriman-kiriman selanjutnya baik masih dari Jogja, atau Bandung, atau dari Mas
Eko Prasetyo, atau dari Asma Nadia, saya masih tidak tahu.
Di jalan, Pak Pos sering bertegur sapa, “Dik
Kokooom,” panggilnya. Saya juga tak suka ini. Tapi ya gimana.
Waktu berlalu, saya msih juga belum tahu
namanya. Sampai akhirnya ia diganti oleh petugas yang lain. Kali ini beliau
memanggil saya, Lala. Lumayan lah.
Beberapa waktu setelahnya, saya mondok dan
berahirlah kisah kirim-kiriman buku itu. Mengapa? Karena memang saya berhenti
meresensi.
Saat liburan, saya menginap di rumah Om.
Istrinya sering kirim dan menerima paketan. Nah, di sanalah saya kembali
bertemu Pak Pos baik hati yang saya belum juga tahu namanya.
“Aaa Dik Lala,” katanya. “Lama tak ada
kiriman buat adik.”
“Iya, Pak. Sudah lama berhenti.” Jawab saya
pendek. Dalam hati merenung jasa mulia beliau. Juga produktivitas menulis yang
menyusut sama sekali.
“Bak, itu yang namanya Pak Pos ya?” tanya
Jihan, putri Om.
Saya jawab sekarang: iya Ji.. beliau
sangat berjasa dan mulia.
Posting Komentar untuk "Apa Kabar, Pak Pos?"