Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pasangan, Cita-Cita dan Sudrun



 
Kita tentu sudah paham. Semua orang pada suatu waktu akan dihadapkan pada dua hal yang membingungkan. Jika hal ini terjadi pada remaja, maka cendrung mereka akan keliru memilih diantara keduanya. Remaja yang labil, susah dinasehati, semau sendiri, remaja yang hanya butuh didengar.
Suatu sore yang indah, seorang santri bernama Sudrun duduk sendirian di teras masjid pondoknya. Siapa kira ia sedang mengaji, justru ia sedang merenung berpikir keras tentang arah masa depannya. Rupanya ia dilema menentukan arah antara kekasih atau cita-citanya.
Dalam perspektif orang yang lebih dewasa dan berpengalaman, maka ia akan menyarankan Sudrun untuk memilih masa depan (cita-cita). Itu jauh lebih penting. Tapi lain hal dengan perspektif remaja seusianya, yang saya katakan masih labil, mereka tentu akan mempertahankan pasangannya atau dengan semangat menggebu menyatakan akan memperjuangkan keduanya.
Kedua hal ini benar berdasarkan perspektif masing-masing. Sebenarnya yang kita butuhkan bukanlah diskusi untuk merumuskan mengapa demikian. Melainkan bagaimana membangun kesadaran bahwa hal itu lumrah terjadi. Semua orang pasti melewati masa-masa demikian. Bedanya hanya bagaimana menykapi agar tidak terlalu baper. Hal itu lumrah adanya.
Mungkin pertanyaan bagaimana tadi sangat sederhana. Tapi, mungkin juga dapat berkaitan dengan hal paling mendasar dan mendalam dari realitas kemanusiaan, filosofis,  moralitas, religi juga cara mengatur jiwa remaja.
Dilema terlalu dekat dan kurang penting, karena kita memiliki realitas atau sesuatu yang lebih penting untuk dikerjakan. Sudrun sibuk merenung. Tapi ia tetaplah seorang santri yang mempunyai kewajiban untuk mengikuti ajian dan hadiran. Maka biarkan ‘pasangan’ menjadi urusan Tuhan kalau sudah sampai pada waktunya nanti. Untuk sekarang, lakukan dulu apa yang memang semestinya dilakukan. Biarkan hidup berjalan seperti semestinya tak perlu terlalu sibuk memikir bgaimana dan bagaimananya. Lakoni lakonah!

Posting Komentar untuk "Pasangan, Cita-Cita dan Sudrun"