Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ini Kawan Lama Saya


Inilah kawan saya dari kecil, yang kejam meski tak sekejam Hitler. Menurutnya ia sedang bercanda tapi sebenarnya itu keterlaluan.

Ketemu depan toko buku di Jogjakarta, dia menemui saya yang datang jauh-jauh dari pulau kecil di timur. Saya salim, saya lirik, dia pakai sarung ungu.

“Ayo mandi di kos.” Katanya menawarkan. Kadang dia memang baik. Dan ini tawaran pertamanya yang kedengarannya perhatian.

Berangkatlah kami ke kosnya yang terpencil dan terpojok itu, kecil dan berantakan pula. Dasar lelaki. Beruntung dia tak merokok.

Sudah beres semua, dia menawarkan: “Ayo makan dulu nanti gabung lagi ke temennya,” wah sisi lain dari dia.

Perhitungan saya, akan sebentar saja numpang bersih-bersih di kosannya lalu makan, lalu kembali lagi bersama kawan-kawan saya yang lain. Segerombolan lebah yang kesana kemari selalu bergerumul.

Ah, rupanya sekawanan lebah,  eh teman saya maksudnya, sudah berpindah ke toko buku selanjutnya. Jadilah saya dan kawan lama saya itu menuju toko kedua.

Rupanya saya ditemani keliling cari buku. Dan mulailah kita berdiskusi banyak hal. Dulu sekali, ini orang tidak begini. Saya perhatikan, dia yang hitam, rupanya sekeliling matanya lebih hitam bahkan dari kulitnya. Biji mata yang harusnya putih, terlihat merah menahan kantuk berkepanjangan. Saya terbersit untuk mengajaknya ke pasar beli mentimun dan daun sirih untuk mengurangi merah dan hitam di sekitar matanya. Saya pun berkesimpulan hal itu yang menjadikannya terlihat bijak. Tak seperti yang saya kenal biasanya.

Sekitar satu jam lebih berkeliling, sudah dapat buku yang saya ingin, obrolan masih berlanjut bahkan semakin asik. Sementara kawan yang lain belum selesai, saya menunggu mereka di mushalla dekat toko. Si kawan lama yang hitam itu berencana untuk segera kembali ke kampus tapi masih juga melanjutkan cerita.

Jadilah kami di mushalla lama sekali. Rupanya segerombolan kawan yang lain telah pergi meninggalkan saya menuju basecamp. Mau tidak mau, cerita pun belum usai, saya kembali bercerita. Kali ini sangat serius.

“Kita lanjut ceritanya di masjid sana yuk,” kata nya sambil menunjuk arah selatan. Saya mengiya kan saja sekalipun tak tahu kenapa harus masjid, dan kenapa harus ke sana.

Rupanya itu masjid kuno. “Ini salah satu masjid kuno di Jogja.  Sejak di bangun belum pernah mengalami renovasi.” Tanpa menoleh ia menjelaskan sambil lalu memarkir sepedanya di sebelah masjid. Bapak tua tukang parkir menyodorkan kertas, kami pun melangkah masuk.




Nama masjidnya Gedhe Kauman. Masjid raya daerah istimewa Jogjakarta. Halaman luar biasanya ditempati para penjual minuman, makanan dan mainan. Saya beli es dawet spesial, kawan lama saya itu hanya minum sebotol air mineral, itu pun tak dingin padahal teriknya matahari masyaallaaahh, dan sekotak rujak buah tanpa jambu air dan mentimun.

Di tempat ini kami makan rujak buah yang dibeli tadi. Katanyadia suka bengkoang, yasudah saya ikhlaskan bengkoang cantik itu dimasukkan ke mulutnya.

Cerita masih berlanjut, tapi kali ini beda. Dia menyebut-nyebut nama seorang gadis yang katanya seangkatan dengannya. Anak psikologi. “Cantik dia, ah ya Allaaah..”

Saya tersenyum saja melihat tingkahnya. Anak ini dari dulu memang ceritanya mesti ke saya, padahal ya saya dengernya sudah ngantuk dan mula mencari sesuatu lain yang menarik. Lirik sana sini, kadang noleh kanan-belakang-kiri-belakang lagi. Eh, dia masih asyik bercerita. Kali ini lebih gila.

“Saya tahu ini gila. Tapi ya saya bisa apa?”

“Awalnya sih biasa saja, sampai dia minta antar ke pondoknya di Krapyak sana. Sebelum gerbang dia minta turun. Melangkah. Hampir gerbang dia noleh sambil tersenyum bilang; ‘makasih ya. 

Assalamualaikum’ duh ya Allaaaahhhh kataku dalam hati. Tergagap menjawab; ‘iya. Waalaikum salam’” matanya menatap lurus kedepan, sambil mengingat-ngingat wajah si perempuan, paling. Mata saya ngerjap-ngerjap ditambah nahan kantuk lihat ekspresinya yang lucu dan aneh begitu.
“Sampai beberapa detik, saya masih belum sadar. Keingat terus sama senyumnya. Duh, ya Allaahh,” katanya lagi. Kening saya mulai berkerut. Ini anak kenapa yak?

Dia mulai menyebutkan warna-warna kerudung yang biasa di pakai si perempuan itu dengan hafal sekali. Bajunya, roknya, bahkan tasnya. MasyaAllah.

Gilanya lagi, kalau lagi rindu, kadang dia datang ke Krapyak cuma buat mengingat-ngingat dimana persisnya tempat si perempuan turun dari motor, melangkah, kemudian memanggil salam yang begitu membuat kawan saya ini ‘sinting’.

‘ya Allah..” katanya lagi. Pecahlah tawa saya, eh tertawa juga dia.

Perhatian kepada pengunjung dan jamaah, sebentar lagi akan dilaksanakan adzan dan sholat berjamaah ashar. Dimohon untuk segera bersiap demi kenyamanan bersama.

Tawa kami terhenti, dia berdiri menunjukkan tempat wudhu wanita. Ia sendiri melangkah ke arah yang lain.

Segerombolan kawan saya yang lain, saya arahkan untuk segera menuju malioboro usai shalat ashar. Sembari menunggu mereka, saya dan kawan lama memutuskan berkeliling menyusuri sepanjang jalan sekaten, keraton, dan malioboro. Mencicipi beberapa masakan; lotek, rujak dan soto.

Dan selalu perempuan itu yang tetiba muncul di tengah percakapan. Benar-benar kena virus dia.


4 komentar untuk "Ini Kawan Lama Saya"

  1. Dan ternyata si gadis ini sudah makin pintar untuk membuat oretan² di buku tebal nanti

    BalasHapus