Bunglon dan Gondrong
Pagi itu biasa saja. Matahari terbit
tepat waktu seperti biasanya. Manusia-manusia berlalu lalang dan beraktivitas
seperti biasa. Sama sekali tidak ada yang menarik. Sampai akhirnya sudut mataku
menemukan Ical si rambut gondrong, baru bangun tidur dan menguap lebar.
Rambutnya bergerak-gerak, sebelah tangannya mengusap wajah. Tiba-tiba ia
memanggilku untuk duduk ngobrol di beranda kecil kontrakannya.
“Pit, sini deh,” ia melambaikan
tangan menyuruhku segera menghampirinya tanpa merasa perlu cuci muka terlebih
dahulu.
Gondrong bertubuh tinggi, berbadan
sedang, matanya hitam, kulitnya agak kecoklatan. Pakainnya lusuh. Barangkali ia
merasa tidak berkepentingan untuk mencuci apalagi membersihkan dirinya.
“eh, kamu tau Mirna, gak? Perempuan
manis berlesungpipit. Tuh tinggal di depan sana.” Mataku mengikuti arah jari
telunjuknya. Aku tak perlu bicara dan mengomentari ceracaunya sepagi ini. Cukup
kuanggukkan kepala dan mulai menyimak.
Ya aku tahu Mirna. Si pendiam dan
pekerja keras. Wajahnya memang cantik dan perilakunya manis. Selalu tersenyum
ramah kepada setiap orang yang ditemuinya. Sesekali kulihat ia mengobrol dengan
beberapa orang di tempat ia bekerja. Ah, anak yang manis.
Beberapa kali pula aku berpapasan
dengannya, dan seperti biasa dia melemparkan senyum manisnya, masih tanpa sepatah kata. Ah,
memang pendiam pikirku. Anak kalem sepertinya pantas menjadi idaman siapa saja
yang merasa waras untuk menjalani hidup dengan ritual pernikahan sebagaimana
biasanya.
Sebagai seorang perempuan tentu aku juga merasa ingin seperti dirinya. Menjadi
perbincangan orang-orang sekampung karena kebaikan budi perkertinya. Perilaku
anggunnya. Oh, sungguh memikat. Lalu,, kenapa pula si Gondrong ini
membahasa-bahas tentang Mirna sepagi ini? Tapi aku memilih tidak bersuara, tak
ingin bertanya apa-apa. Biarlah Gondrong menyebutkan maksudnya sendiri nanti.
Dan tentang si Mirna, ceritaku masih
belum selesai. Kami satu kampung hampir bisa dipastikan mengenal atau paling
tidak pernah bertemu dan mendapat lemparan senyum menyentuh hati. Wajahnya
teduh menandakan ia adalah seorang yang rajin beribadah. Langkahnya mantap
penuh wibawa. Matanya berkedip pasti beberapa kali, lalu sambil berjalan ia
sedikit membungkuk melempar senyum saat orang lain menyapa atau menegurnya di
jalan.
“Aku pernah mengobrol dengannya”
Ah, Gondrong mulai ceracau tak
jelas. Ini makhluk memang sedikit pengigau. Dia suka menghayal dan bertingkah.
“Suatu ketika dia berkata tentang
dunia ini. Dunia yang tertawa. Menertawakan lelucon kehidupan, bunglon-bunglon,
kemunafikan, para pemerintah, ketidak adilan, kebebasan, dan tentang jatuh
menjatuhkan.” Manamungkin Mirna begitu. Mirna tak mengenal kata-kata sekasar
itu.
Gondrong masih melanjutkan
ceritanya.
“Dia menuding, mengangkat alisnya
dan menunjuk-nunjuk para pekerja kantor. Katanya mereka hanya hidup untuk perut
mereka sendiri. Makanya perutnya tambun dan hidungnya besar.”
Aku semakin ciut dengan
kata-katanya. Kapan pula ia memilki kesempatan untuk ngobrol dengan Mirna. Lagi
pula mana mau si Mirna mengobrol dengan gondrong.
“Mirna ternyata kritis, Pit.”
***
Suatu pagi yang lain aku melihat
seorang perempuan manis sedang membentak nenek-nenek tua penjual pisang
keliling.
“Hey, Nek tua. Hidup ini kejam
memperlakukan yang renta dengan seperti ini. Lihat aku. aku belajar banyak hal
dari hidup. Tentang kesuksesan, impian, kebahagiaan. Tapi apa nyatanya, tak ada
yang benar-benar bahagia , Nek tua. Sekarang apa hidupmu bahagia?”
Siapa perempuan itu, pikirku.
Setelah menoleh rupanya ia Mirna. Mirna si pendiam, sekarang meracau di depan
nenek-nenek tua.
Hah, bagaimanalah hidup? Bunglon ada
di mana-mana. Ternyata tampilan begitu menipu.
Selang beberapa bulan, kudengar si
Mirna menikah dengan gondrong. Nah, begitulah seharusnya.
Posting Komentar untuk "Bunglon dan Gondrong"