Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bunglon dan Gondrong


Hasil gambar untuk gambar kartun gondrong
Pagi itu biasa saja. Matahari terbit tepat waktu seperti biasanya. Manusia-manusia berlalu lalang dan beraktivitas seperti biasa. Sama sekali tidak ada yang menarik. Sampai akhirnya sudut mataku menemukan Ical si rambut gondrong, baru bangun tidur dan menguap lebar. Rambutnya bergerak-gerak, sebelah tangannya mengusap wajah. Tiba-tiba ia memanggilku untuk duduk ngobrol di beranda kecil kontrakannya.
“Pit, sini deh,” ia melambaikan tangan menyuruhku segera menghampirinya tanpa merasa perlu cuci muka terlebih dahulu.
Gondrong bertubuh tinggi, berbadan sedang, matanya hitam, kulitnya agak kecoklatan. Pakainnya lusuh. Barangkali ia merasa tidak berkepentingan untuk mencuci apalagi membersihkan dirinya.
“eh, kamu tau Mirna, gak? Perempuan manis berlesungpipit. Tuh tinggal di depan sana.” Mataku mengikuti arah jari telunjuknya. Aku tak perlu bicara dan mengomentari ceracaunya sepagi ini. Cukup kuanggukkan kepala dan mulai menyimak.
Ya aku tahu Mirna. Si pendiam dan pekerja keras. Wajahnya memang cantik dan perilakunya manis. Selalu tersenyum ramah kepada setiap orang yang ditemuinya. Sesekali kulihat ia mengobrol dengan beberapa orang di tempat ia bekerja. Ah, anak yang manis.
Beberapa kali pula aku berpapasan dengannya, dan seperti biasa dia melemparkan senyum  manisnya, masih tanpa sepatah kata. Ah, memang pendiam pikirku. Anak kalem sepertinya pantas menjadi idaman siapa saja yang merasa waras untuk menjalani hidup dengan ritual pernikahan sebagaimana biasanya.
Sebagai  seorang perempuan tentu  aku juga merasa ingin seperti dirinya. Menjadi perbincangan orang-orang sekampung karena kebaikan budi perkertinya. Perilaku anggunnya. Oh, sungguh memikat. Lalu,, kenapa pula si Gondrong ini membahasa-bahas tentang Mirna sepagi ini? Tapi aku memilih tidak bersuara, tak ingin bertanya apa-apa. Biarlah Gondrong menyebutkan maksudnya sendiri nanti.
Dan tentang si Mirna, ceritaku masih belum selesai. Kami satu kampung hampir bisa dipastikan mengenal atau paling tidak pernah bertemu dan mendapat lemparan senyum menyentuh hati. Wajahnya teduh menandakan ia adalah seorang yang rajin beribadah. Langkahnya mantap penuh wibawa. Matanya berkedip pasti beberapa kali, lalu sambil berjalan ia sedikit membungkuk melempar senyum saat orang lain menyapa atau menegurnya di jalan.
“Aku pernah mengobrol dengannya”
Ah, Gondrong mulai ceracau tak jelas. Ini makhluk memang sedikit pengigau. Dia suka menghayal dan bertingkah.
“Suatu ketika dia berkata tentang dunia ini. Dunia yang tertawa. Menertawakan lelucon kehidupan, bunglon-bunglon, kemunafikan, para pemerintah, ketidak adilan, kebebasan, dan tentang jatuh menjatuhkan.” Manamungkin Mirna begitu. Mirna tak mengenal kata-kata sekasar itu.
Gondrong masih melanjutkan ceritanya.
“Dia menuding, mengangkat alisnya dan menunjuk-nunjuk para pekerja kantor. Katanya mereka hanya hidup untuk perut mereka sendiri. Makanya perutnya tambun dan hidungnya besar.”
Aku semakin ciut dengan kata-katanya. Kapan pula ia memilki kesempatan untuk ngobrol dengan Mirna. Lagi pula mana mau si Mirna mengobrol dengan gondrong.
“Mirna ternyata kritis, Pit.”
***
Suatu pagi yang lain aku melihat seorang perempuan manis sedang membentak nenek-nenek tua penjual pisang keliling.
“Hey, Nek tua. Hidup ini kejam memperlakukan yang renta dengan seperti ini. Lihat aku. aku belajar banyak hal dari hidup. Tentang kesuksesan, impian, kebahagiaan. Tapi apa nyatanya, tak ada yang benar-benar bahagia , Nek tua. Sekarang apa hidupmu bahagia?”
Siapa perempuan itu, pikirku. Setelah menoleh rupanya ia Mirna. Mirna si pendiam, sekarang meracau di depan nenek-nenek tua.
Hah, bagaimanalah hidup? Bunglon ada di mana-mana. Ternyata tampilan begitu menipu.
Selang beberapa bulan, kudengar si Mirna menikah dengan gondrong. Nah, begitulah seharusnya.   



Posting Komentar untuk "Bunglon dan Gondrong"