Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tolak Petaka




           
Omongan Pa’ Li’ semakin jelas arahnya. Ia semakin menelanjangiku dan kelihatannya dia punya bahan cukup banyak untuk itu. Pa’ Li’ menyerangku.
            “Pada akhirnya semua orang akan sampai pada batas di mana ia harus mengalah dan menyerah, atau memutuskan suatu perkara.” Katanya.
            Aku membuang muka.
            Pa’ Li’ memperbaiki posisi duduknya. Harus ku akui, untuk saat ini alasanku belum cukup kuat melawan pendapatnya. Sebenarnya aku memiliki harga diri yang tinggi, semacam keangkuhan. Tapi sejauh ini yang ku tahu keangkuhan perempuan selalu dikalahkan oleh kekuatan di luar dirinya, lingkungannya. Jelas aku tak terima dengan keadaan ini, dan keinginanku terlalu kuat untuk menjalani hidup sesuai keinginanku. Seperti Abang, aku ingin menjalani hidup di duniaku sendiri.
            “Ada sesuatu yang harus kamu pertahankan selain egomu, Sri. Pa’ Li’ mengerti kemauanmu. Tapi pikirkan, Nak, hidup tak sesempit itu.” Suara Pa’ Li’ lagi.
            Napasku mulai tak teratur. Sebisa mungkin aku tak boleh menangis. Ini harga diri dan penentuan masa depanku. Tapi sekali lagi, perkataan Pa’ Li’ mengikatku.
            “Ini tradisi, Nak. Kau tahu lah, belakangan ini ada banyak malapetaka di desa kita, orang-orang semakin suka berbuat hal yang bertentangan dengan ajaran syariat. Tidak hanya itu, kabar-kabar yang beredar kota kita akan menjadi segera pusat kunjungan orang-orang di luar kita. Masalah-masalah banyak bermunculan, Sri. Tidakkah kau berpikir kesana?” Ya, ku tahu itu. Aku tahu betul itu apa. Pikirku.
Aku semakin tidak berdaya. Sungguh Pa’ Li’ mulai menyerangku. Aku menyadarinya. Tapi apa pertahananku? Oh, cita-citaku. Itu, itu perisaiku. Aku harus tetap memegang teguh. Perempuan karir dan sukses di dunianya adalah simbol derajat perempuan ‘keren’ dalam kamusku. Ya, itu. Itu.
            “Sri, buyutmu telah berpesan untuk tetap melestarikan tradisi tarian ini, Nak. Pada dirimulah kami melihat ada kekuatan untuk tetap mempertahankannya. Kau satu-satunya cucu perempuan kakekmu. Maka kepadamulah semestinya keistimewaan itu dipangku.” Pa’ Li’ menyentuh bahuku.
            Aku tahu yang dikatakannya itu benar. Tapi haruskah mengorbankan keinginan dan harapan cucu perempuannya sendiri? Ini lebih dari namanya memaksa dan menarikku untuk hidup di dunia lain. Pa’ Li’ telah melanjutkannya dengan memberikanku pilihan-pilihan dalam pikiranku. Ia makin menantangku. Ah, haruskah aku selemah ini? dalam pertarungan ini aku harus menang.
“Lihat Pa’ Li’, Sri.” Tangannya berusaha memalingkan wajahku untuk menatapnya. Tapi aku hanya bisa tertunduk.
“Sejak tari tolak bala itu mulai ditinggalkan masalah-masalah semakin bermunculan, Nak. Jangan-jangan itu kutukan dari Tuhan, petaka semakin banyak di mana-mana. Kita harus peka melihat itu.” Terlintas di benakku beberapa hal yang terjadi belakangan ini.
Ini adalah hari kesekian bujukan-bujukan itu mengetuk-ngetuk batin dan pertahananku. Ayah dan Ibu telah menyerah dan memilih mendiamiku setelah sebelumnya mereka juga membujuk bahkan memarahiku. Hanya Abang yang memilih diam meskipun aku yakin ia ingin menolongku.
            Sungguh, tari-tarian ini membuatku muak. Semua orang di desaku tahu aku bisa melakukannya. Akulah satu-satunya keturunan tunggal setelah buyutku, Sumti, penari terakhir di desaku. Bakat menari itu ada padaku, bukan pada yang lain. Ibuku bahkan tak bisa menari sama sekali. Maka semua orang kini membebankan tanggung jawab itu kepadaku. Memaksaku untuk memulainya.
Desaku yang sempit dan terpencil rupanya belum bisa menerima sesuatu yang baru, sesuatu yang disebut perubahan zaman. Padahal perkembangan zaman telah menarik ruh tradisi, pada akhirnya tradisi-tradisi lokal akan ditinggalkan. Lihatlah, betapa Sumenep telah berkembang begitu pesatnya, prestasi-prestasinya, bahkan ada isu-isu akan segera jadi kota provinsi. Inilah kedigdayaan zaman. Lalu desaku hanyalah lahan kecil di tengah kota yang sedang bertransformasi. Ayolah, semestinya itu dianggap sebagai keniscayaan. Tapi lagi-lagi orang-orang di desaku menganggap hal-hal demikian sebagai petaka, perubahan negatif dan semacamnya.
Akhirnya mereka semakin mendesakku kembali memulai tradisi tari tolak bala/petaka.  Dan biar kupertegas, sama sekali aku tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang harus kuakui benar. Aku bahkan sudah melupakannya. Justru ini akan mengikatku, membatasi ruang gerakku.
            “Hanya tinggal beberapa latihan untuk mematangkan dan menyempurnakan gerakanmu, tak butuh waktu lama untuk anak berbakat sepertimu, Sri.” Katanya. Pa’ Li’ benar-benar bertekad meruntuhkanku.
            “Pa’ Li’, perempuan terpelajar itu jauh lebih terpandang dan istimewa dari pada penari kondang seperti pendapatmu.” Tubuhku terasa panas terbakar emosi. Perasaanku buncah, senyatanya aku ingin berkata lebih banyak. Aku khawatir Pa’ Li’ mampu menaklukkanku karena sedikit-sedikit aku mulai bisa menerima pernyataan-pernyataannya.
            Tapi tunggu sebentar, aku harus tetap mempertahankan prinsipku. Teguh pada pendirian, aku ingin menjadi perempuan hebat dan terpelajar. Ah ya, aku telah mempersiapkan itu bahkan sejak sekolah menengah pertama. Aku memperluas wawasanku di organisasi-organisasi. Memperdalam minatku di tulis-menulis, aku telah berkawan dengan banyak oprang di luar desaku, dan itu menyenangkan. Bertemu mereka di berbagai forum sekolah dan di luar sekolah. Aku banyak menekuni dunia-duniaku. Bukan menari seperti kemauan Pa’ Li’ dan orang-orang sekitarku.
            Sejak awal aku telah memutuskan untuk membangun mimpi-mimpiku di Jogjakarta. Menjadi perempuan aktivis, terpelajar dan sukses. Tak mudah mengokohkan dan membulatkan tekad terutama bagi perempuan kelahiran Sumenep polosok sepertiku. Cita-citaku adalah kebanggan tersendiri bagiku. Sesuatu yang membanggakan untuk kupertahankan. Dan seharusnya perasaan seperti ini juga dimiliki keluargaku. Bukan menruntuhkannya apalagi membunuhnya. Itu sama saja dengan membunuhku langsung. Sungguh ini sebuah penyerangan.
            Di akhir sekolahku, rupanya semua tak seperti dalam bayanganku, keluargaku memintaku menjadi penari dan menghidupkan kembali tradisi itu. Tari Moang Sangkal. Haruskah aku runtuhkan mimpiku itu? Kurasa itu bukan karakter perempuan yang kokoh dan tangguh. Itu bukan aku. Bagaimana mungkin sebuah tari-tarian dipercaya sebagai sebuah ritual menolak petaka? Bagaimana hal semacam ini menjadi kepercayaan kuat di kalangan kami?
            “Tidakkah untuk sedikit saja kau berhenti berpikir untuk dirimu sendiri, Sri. Ini adalah yang kesekian kalinya. Apa kesalahan terbesar sesepuh kita hingga memiliki keturunan perempuan sepertimu yang tak peduli pada sekitarmu? Kepada siapa lagi aku harus memohon kalau bukan kepada keponakanku sendiri? Apalah arti ketenaran, kehebatan yang kau impi-impikan dibandingkan keadaan kerabat dan tetanggamu? Bagaimana bisa kau tak berpikir kesana? Pa’ Li’ tahu usia-usia sepertimu adalah proses pematangan karakter, pencarian jati diri. Tapi banyak pilihan-pilihan yang harus kau tentukan dan sebagai perempuan yang belum cukup dewasa, perasaanmu masih terlalu labil. Dengarlah permintaan Pa’ Li’, menarilah Nak. Lupakan mimpi-mimpimu dan hiduplah dengan normal.” Suara Pa’ Li’ mulai meninggi. Aku sama sekali tak takut jika hanya ini penyerangannya, aku justru lebih takut ia menyerang prinsipku dengan prinsipnya sendiri.
            Tidak bisa, Pa’ Li’ harus mengerti. Tapi bagaimana lagi harus kujelaskan.
            “Pa’ Li’… berhentilah menarikku dan memaksaku memasuki dunia yang sama sekali tak kuminati. Itu akan membunuh karakterku. Itu akan menyesakkanku. Kehilangan mimpiku sama saja dengan kehilangan semangat hidup. Aku telah memulai sejak lama dan seharusnya semua orang mendukungku, bukan menjerumuskan dan mengurungku seperti ini. bukan kesalahanku tari Moang Sangkal itu mulai tidak ada, lalu kenapa aku yang harus bertanggung jawab? Kenapa aku yang harus mengorbankan cita-citaku demi menghidupkan semua itu? Aku tidak pernah memilih untuk terlahir dari keturunan yang pernah menjadi penari seperti itu. Dan sekarang aku tumbuh dengan pilihan-pilihanku sendiri. Malangnya, aku semakin dituntut mengikuti alur  mereka. Pa’ Li’ aku hanya ingin hidup dengan duniaku, perkara tradisi itu terserah. Silahkan hidupkan lagi. Itu adalah kepercayaan kalian. Mempercayai ritual menolak petaka-petaka. Tapi tolong jangan libatkan aku, Pa’ Li’…
            Tiba-tiba aku tak mampu menahan gejolak perasaanku. Aku menangis dan terisak di hadapannya, aku tak mampu lagi melanjutkan kata-kataku. Pa’ Li’ adalah laki-laki yang meruntuhkanku. Sedikit banyak aku berpikir benar atas kata-katanya.
            Astaghfirullah, Sri. Bagaimana bisa kau berkata begitu seolah kau begitu jauh dengan kodratmu sebagai seorang cucu keturunan penari yang mempercayai tradisi itu. Padahal kau tahu tarian itu untuk mengangkat kembali sejarah kehidupan kraton. Seharusnya kau bangga dengan itu. Kau juga tahu ada serangkaian aturan sakral di dalamnya hingga kami tidak dengan bodoh meyakininya sebagai ritual menolak bala, Nak. Bagaimana bisa kau berpikiran begitu, Sri? Istighfar Sri. Barangkali nafsumu terlalu kuat sampai kau memungkiri kepercayaan sesepuhmu.”
            Aku terdiam terisak. Terus tertunduk antara menyesal dan keinginan kuatku. Aku menyesal telah mengeluarkan kata-kata itu. Tapi aku takut melihat cita dan mimpiku mulai memburam.
Pa’ Li’ berdiri dan meninggalkanku, sebentar kemudian dia datang membawa sebotol air,
            “Minum air itu, jika hampir habis segera isi lagi.” Katanya, lalu pergi lagi.  
            Aku masih terisak. Diam-diam aku berpikir keras dan merenungi semuanya. Sekian lamanya, kutarik napas, setelah kurasa tenang, aku meminum air pemberian Pa’ Li’. Kelak aku menyadari maksudnya.
***
             Ini hari ahad pagi,
            Untuk yang kesekian kalinya, suara musik gamelan khas kraton, gending sampak, mengalun halus seirama dengan gerakan halus dan pelan. Aku melangkah pelan maju ke panggung, mengangkat sedikit ujung kainku, sebelah tanganku mengangkat cemong sebahu. Dengan gerakan sempurna aku mulai menari. Sesuai ketentuan, aku memakai kemben hitam, berpakaian pengantin legha khas Sumenep perpaduan merah, hitam dan kuning. Beberapa kain panjang tambahan disampirkan di bahuku yang lebar. Mahkota bunga-bunga, sabuk, gelang, unduk dan sampur semua lengkap kupakai, seperti biasanya.
            Lagu pengiring semakin cepat mengalun, begitu juga gerakanku. Memutar lalu menaburkan bunga-bunga yang ada dalam cemong dengan gerakan lembut dan indah. Bunyi gending dan wajah-wajah yang sumringah kubalas dengan gerakan tepat untuk memuaskan hati penonton. Mereka harus puas. Berbulan-bulan aku mempersiapkan diri dan mental untuk bisa menari di acara-acara besar seperti ini. undangan-undangan penyambutan tamu besar atau sekadar menari untuk menolak bala.
            Kulihat Pa’ Li’ dan Ayah Ibuku tersenyum bangga melihat putrinya tampil di acara bergengsi dan besar seperti ini. Baginya, tarian dan segala ritual sakralnya adalah do’a dan pengharapan untuk kehidupan yang lebih baik.
            Dan pada akhirnya aku kalah. Aku menyerah. Betapapun kuat keinginanku, tak ada yang bisa melawan kekuatan tradisi. Kodratku telah menghapus semua pengharapan. Dan egoku kalah dalam pertarungan. Aku memilih menjadi perempuan yang menertawakan sendiri mimpiku.
            Maka demikianlah aku runtuh oleh Pa’ Li’, lingkungan, oleh tradisi, oleh takdirku.
            Lagu berakhir dan semua penonton di Pendopo berdiri memberikan tepuk tangan untukku. Untukku perempuan hebat yang membanggakan. Ya. Semua orang harus bangga karena aku adalah perempuan sejati yang telah melestarikan tradisi dan kekayaan budayaku. Aku sadar, aku telah terlahir sebagai perempuan yang digariskan Tuhan untuk memangku adat dan melestarikannya.
            Aku menunduk sopan dan tersenyum tipis.
Annuqayah, 15 Nopember 2017



Posting Komentar untuk "Tolak Petaka"