Kredo Rapor
Enam tahun lalu saya pernah ditegur, setengah dimarahi, oleh ibu saya karena nilai rapor yang
saya tunjukkan, katanya, memalukan. Masalahnya, saya mendapat peringkat ke- 17 dari
20 siswa. Itu merupakan pertama kali dalam sejarah akademik saya.
Seperti umumnya orang
tua, kedua orang tua saya, terutama ibu, sangat sensitif terhadap hal-hal yang
berbau akademik dan pedidikan sekolah. Satu-satunya tolok ukur
prestasi yang nampak pada orang tua, umumnya, adalah nilai rapor dan peringkat.
Begitu pula dengan orang tua saya, nilai
menurun disimpulkan bahwa sang anak tingkat belajarnya menurun, lebih tertarik
pada hal lain di luar palajaran dan materi. Sebuah asumsi yang sampai hari ini
sering kita jumpai.
Salah satu penyebab dari menurunnya peringkat saya di
sekolah adalah beberapa kegiatan
yang saya ikuti di luar sekolah, seperti
OSIS, sanggar, pramuka, IPPNU, dan kegiatan lain. Jujur saja, hal itu menguras
banyak waktu belajar saya di sekolah. Terlepas dari itu semua, sebenarnya saya sedang
mempelajari sesuatu yang lain diluar mata pelajaran yang mungkin saja
sebenarnya sama bermanfaatnya dengan materi-materi sekolah. Setidaknya begitu
anggapan saya kala itu.
Sedikit banyak sebenarnya terbersit perasaan menyesal
dan khawatir di pikiran saya,mengingat sebelumnya saya
belum pernah mendapat peringkat sejauh itu. Sedikit-sedikit saya khawatir bahwa pilihan saya untuk banyak aktif di
kegiatan ekstra
adalah pilihan yang salah. Pikiran ini muncul karena teguran dan ceramah singkat
dari orang tua saya tentang diri saya.
Namun satu hal yang saya rasakan berbeda, ada kepuasan
yang berbeda saat berhasil menyelesaikan banyak tugas dan kegiatan-kegiatan
yang berlangsung di semua organisasi yang saya ikuti. Hal itu jauh lebih
meluap-luap dan gegap gempita bahagianya daripada saat saya mendapat peringkat
satu pada tahun
sebelumnya. Ada kepuasan tersendiri rupanya, pikir saya kala itu.
Rhenald Kasali, beliau terkenal sebagai ekonom
kontemporer Indonesia, dalam tulisannya,
beliau pernah menyinggung tentang pendidikan Indonesia yang dinilainya, maaf, discouragement.
Bukannya merangsang anak didiknya untuk maju tetapi justru membunuh dan merusak
karakternya. Begitulah
perbedaan pendidikan Indonesia dengan Amerika menurut Rhenald Kasali—tempat putranya
belajar.
Jika pikiran tertekan
karena dimarahi sebab nilai anjlok, maka ternyata belakangan saya temukan,
seorang anak akan cendrung merasa takut dan menyurutkan semangatnya atau hal
itu akan membentuk pola pikir selalu ingin bersaing, saling mengalahkan, dan
rasa iri. Pengetahuan yang seharusnya mengalir sesuai tuntutan rasa ingin tahu
berubah menjadi penuh persaingan dan rasa ingin unggul dari yang lain. Sebab
nilai rapor itu pula sempat memicu perpecahan di kelas saya, mereka yang
merasa terkalahkan dan yang merasa unggul.
Tujuan bersekolah dan belajar bersama kehilangan makna
aslinya. Bersekolah sekadar untuk
bersaing
merebut perhatian guru, bersaing ingin menjadi yang tertinggi nilainya,
bersaing dengan sesamanya. Sejak itu pula saya benci persaingan dan apa pun itu
yang berjenis perebutan dan keunggulan. Bentuk puncak kemarahan saya adalah dengan mengajukan pertanyaan kepada salah
satu guru saya,
mengapa harus ada rangking dan rapor?
Tentu saja beliau menjawab untuk memicu semangat belajar. Ah, terlalu
klise, pikir saya.
Rasa ingin unggul adalah sebuah virus ganas sekaligus ngeri, umumnya memenuhi
pikiran dan perasaan. Virus itu akan
tumbuh bersamaan dengan rasa
iri
ketika ada teman lain yang lebih unggul.
Kebencian ini berasal dari inti amygdaloid dalam sistem limbiotik
otak.
Pemikiran yang umum terjadi pada setiap orang yang
menginginkan eksistensi dan ingin keberadaannya diakui, biasanya
muncul sebab persaingan yang dipicu oleh nilai rapor dan rangking kelas. Betapapun rapor ini dapat memicu semangat
belajar, adakah cara lain yang lebih arif untuk menstimulasi semangat belajar
siswa?
Posting Komentar untuk "Kredo Rapor"