Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Identitas, Pola pikir dan Pola Hidup

Kali ini saya akan memulai tulisan ini dengan pernyataan Bill Kovach, wartawan legendaris AS mantan wartawan The New York Times,  dan Tom Rosenstiel mantan wartawan harian The Los Angeles Times, “Jurnalisme yang muncul sejak 20 tahun terakhir adalah jurnalisme bisnis. Dan para redaktur mempunyai tanggung jawab dalam menjaga anggaran dan menarik pelanggan” Makna awal sejak pertama kali lahir jurnalisme sekitar 3.5 abad sebelumnya telah tereduksi mejadi pasar oleh—sekali lagi menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel—pengaruh teknologi baru (internet), globalisasi, dan konglomerasi.
Pengaruh pertama, betapa internet telah mulai memisahkan jurnalisme dari geografi, dan selanjutnya dari komunitas seperti yang kita pahami dalam pengertian politik atau kemasyarakatan. Perubahan yang kedua disebutkan karena pengaruh globalisasi. Melihat kewarganegaraan dan komunitas tradisional telah menghilang saat perusahaan-perusahaan komunikasi menjadi tanpa batas. Dampaknya kemudian perusahaan-perusahaan tersebut sejalan seiring akan mengubah isi dan arus berita. Ketiga, dijelaskan faktor yang menggerakkan jurnlisme pasar adalah konglomerasi, perusahaan media kemudian hanya menjadi penyumbang dana untuk perusahaan induk yang berbasis penjualan dan dagang. Sementara kita tahu media akan mengurangi loyalitasnya kepada masyarakat dan berganti dengan loyalitas pada perusahaan induk.
Di luar semua itu sebenarnya titik pembahasan pada tulisan kali ini bukan betapa jurnalisme telah kehilangan jati dirinya seiring perkembangan zaman yang—memang benar adanya—semakin digdaya, tapi tentang politik identitas, pola pikir dan pola hidup. Apa sebenarnya nilai yang dominan mempengaruhi perubahan pola pikir dan pola hidup sehingga semua terus mengejar dan lupa pada identitas awal?
Seorang tokoh akademik dan agama mengemukakan, pertama, sikap pragmatis. Sebuah logika final untuk menuju tujuan dan sasaran dengan mengabaikan proses dan usaha. Sebuah konsep mengesankan dari Islam bahwa Tuhan tidak akan merubah takdir suatu kaum sebelum ia ‘mengubahnya sendiri’. Mengubah sendiri itu mengandung makna proses dan usaha yang tidak akan pernah Tuhan berikan hasilnya tanpa ada upaya. Butuh keseriusan, riyadlah, istiqamah, sabar, dan titik finalnya, tawakkal. Sementara pola pikir pragmatis mengabaikan semua nilai dengan terus mengupayakan tanpa memperhatikan arif tidaknya sebuah usaha. Berbanding lurus dengan pernyataan Machiavelli, bahwa untuk sebuah tujuan, apapun pantas dilakukan.
 Secara implikasi, kedua pola pikir ini akan juga menghasilkan hal yang berbeda. Biasanya, Albert Einstein menyinggungnya dengan pernyataan “bodoh itu adalah melakukan sesuatu yang sama dengan berharap hasil yang berbeda”. Sebuah pernyataan klasik dari Arab, wal jununu fununu (orang gila itu bermacam-macam).
Kedua adalah sikap selalu ingin berubah. Senyatanya sifat ini memang ada pada dasar manusia berbentuk surroh (kepribadian) yang sebenarnya dapat diartikan pencuri. Selalu mencuri kebiasaan seseorang dan memperbaharui dirinya dengan sikap-sikap yang lain. Sebagai manusia, kita memiliki pilihan untuk memunculkannya ke permukaan atau tetap menyimpannya, menyembunyikan dengan sifat-sifat lain yang lebih memiliki peran baik bagi kehidupan.
Kecendrungan sikap ini akan menuntut diri untuk selalu berubah dan memupuk perasaan jenuh dan bosan sehingga kebutuhan pribadi untuk terpuaskan dengan perubahan-perubahan baru, menjadi semakin kuat dan mengakar. Tingkatan terendah adalah berubah dalam hal penampilan, selanjutnya berubah gaya hidup, dan akhirnya akan menjadi karakter sehingga yang ingin selalu berubah adalah yang mendasar dari hati dan pikirannya.
Dan yang ketiga adalah hedonisme. Perasaan untuk selalu bersenang-senang menikmati zona nyaman dan aman, ujungnya akan berakhir di garis kemalasan. Dalam kitab sejarah terkuno atau sejarah peradaban bangsa-bangsa besar, malas selalu tidak ada—hilang dan dihilangkan—dalam kamus kehidupan mereka.
Ketiga sikap ini terus berjalin kelindan seiring kedigdayaan zaman—untuk tidak mengatakan Zaman Now—sehingga membentuk perubahan-perubahan dalam pola pikir, pola hidup dan tujuan hidup manusia. Maka senyatanya yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam segala aspek tidak jauh berbeda. Faktor yang satu memperngaruhi banyak faktor lain untuk kemudian membentuk desakan yang mau tidak mau menuntut sebuah perubahan.
Khusus hal ini harus ada kehidupan lain yang terbentuk untuk membentengi dan mengendalikan arus perubahan. Akhirnya pesantren merupakan pilihan terakhir untuk diharapkan dapat menyelamatkan ‘diri’ dari tuntutan zaman. 

*Santri

Posting Komentar untuk "Identitas, Pola pikir dan Pola Hidup"