Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wakil Tuhan








Oleh | Lailatul Q
Late post, eight  month agoo, 18th February 2016.
Bingung mencari topik untuk tulisan kali ini, saya kembali berhayal, membayangkan bila suatu pagi ada aksi teror di sebuah negeri yang  katanya makmur. Di film-film Hollywood, para aktor bebas berekspresi sesuai arahan sutradara. Beberapa orang tak dikenal tiba-tiba muncul mengacaukan suasana di sebuah tempat dengan aksi ekstremnya. Tapi itu hanya film di negeri Paman Sam.
Lain hal dengan negeri tercinta ini, film serupa mimpi dan aktor melakukannya di tempat yang nyata. Pada sisi ini sebenarnya Indonesia lebih maju dibandingkan negara tetangga dengan produksi film menegangkannya.
Maka ketika ada aksi teror di kawasan Tamrin beraksi dengan alasan mewakili Tuhan, saya terdiam, bagi saya ini adalah domain manusia yang tentu saja peran Tuhan dalam hal ini tidak terlalu teknis. Mengingat bahwa manusia sebagai wakil Tuhan, melakukan aksi mengejutkan dengan meneror itu pasti sedang tidak mewakili Tuhannya. Ada kemungkinan sedang mewakili tuannya dengan alasan atau sebab yang lain.  Ah, terkadang negeri ini serupa tempat bermain film.
Para tokoh mengatakan peristiwa semacam itu terjadi karena ketidak rukunan antar sesama. Clifford Geertz mengingatkan, kerukunan hanya terjadi ketika setiap pemeluk agama tidak menonjolkan identitas agamanya.
Semenjak belum memasuki dunia perkuliahan, saya bersama kawan-kawan kerap kali berdiskusi panjang mengenai Islam nusantara. Berdasarkan penuturan sejarah, Islam datang dengan anggun menyapa nusantara. Karena kualitas keadaban Islam Indonesia besumber dari pluralisme yang mengagumkan. Ujar seorang peneliti, Robert W. Hefner dalam tulisannya, Minoritas yang Mengancam, 13 Februari lalu di Kompas.
Aksi-aksi teror dan berkembangnya paham-paham radikal menurut Masdar Hilmy terjadi karena adanya kesempatan untuk kembali bersemi. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan ekonomi, deprivasi, sosial-politik, kebijakan negara yang salah, dan konstelasi geopolitik adalah segelintir contoh kondisi struktural yang menyisakan ruang kosong dan memantik idologi-terorisme (Baca: Integritas Pemberantasan Terorisme, Kompas 16 Februari 2016).  Wajah Islam Rahmatan lil ‘alamin yang sering diserukan oleh kalangan Nahdliyyin kiranya perlu tindakan yang lebih nyata untuk tetap mempertahankan Indoensia yang ayu dan tentram.
Suasana semakin tak keruan setelah propaganda aksi teror di kawasam Thamrin, 14 Januari lalu yang dikemas secara popular seakan pelaku ber-akting layaknya pemain film Hollywood. Tentu ini bukan sebuah lelucon film, melainkan sebuah keadaan yang menuntut gerakan dan tindakan agamawan muslim Indoensia untuk tetap melestarikan Islam yang damai.
Barangkali kita perlu melihat konsep perdamaian di Kampung Sawah desa Jatimurni, pinggir kota Bekasi. Berdasarkan sejarah, Kampung Sawah ini merupakan perkampungan orang Betawi yang paling awal mengalami ke-Bhineka-an agama dan etnisitas. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya marga, seperti Bicin, Napiun, Empi, Rikin atau Kelip. Yang terdiri dari pemeluk agama Islam, Katolik, Protestan sebagai mayoritas. Juga terdiri dari warga Hindu dan Buddha.
Dari kalangan itu kerukunan tumbuh subur di atas keragaman identitas agama. Konon, mereka menerapkan perkawinan eksogami antar marga, tak jarang perkawinan silang antar pemeluk agama terjadi, sekalipun mereka lebih mengutamakan pernikahan preferensial yang mengutamakan satu agama.
Nilai-nilai kewajaran yang dibangun bersama penduduk berlainan agama yang mampu hidup berdampingan telah diciptakan oleh suasana kampung itu atas dukungan warga dan pemerintah.
Lebih dari itu, ketika sebagian warga membangun rumah ibadha yang tidak prosedural, hingga memancing protes dari sebagian warga yang lain, pemerintah turun tangan dengan memfasilitasi ibadah warganya dengan memfungsikan balai desa sebagai tempat ibadah. Saya pikir, hal semacam ini adalah sisi lain dari kejamnya hidup hari ini. Tak terbayangkan bagaimana suasana yang mereka ciptakan dan mereka bangun. Ketika sholat maghrib orang Islam terganggu musik gerejawi, dan pada agama lain harus menahan amarah saat istirahat mereka terganggu adzan subuh yang berkumandang, mereka menerima sebagai sebuah kebahagiaan.

Abdul Aziz Ahmad menuturkan, pluralitas adalah keniscayaan hidup dan tumbuh menjadi keyakinan. Kemudian menjadi titik perjuangan membangun kohesi sosial. Pada Kampung Sawah itu saya bisa menyimpulkan bahwa konflik bisa dikelola, integrasi dapat terwujud, dan harmoni tetap bisa dibangun  dengan dinamika kehidupan beragama masyarakat yang majemuk. Entah kenapa tiba-tiba saya merasa rindu Gus Dur.

Posting Komentar untuk "Wakil Tuhan"